Search

Tuesday, February 19, 2013

CANDI SUKUH

Candi Sukuh didirikan pada masa kerajaan Majapahit abad 15M, Yang berkuasa saat itu adalah Ratu Suhita 1429-1446 M. Candi Sukuh menghadap kearah terbenamnya Matahari dan dibangun dengan tiga teras bangunan. Setiap tingkatan teras menggambarkan tingkatan menuju kesempurnaan kehidupan. Terdapat pula relief yang melambangkan ketiga dunia. Yaitu Dunia Bawah, Dunia Tengah dan Dunia Atas. Dunia Bawah dilambangkan dengan relief Bima Suci, Dunia Tengah dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala. Sementara Dunia Atas di tasbihkan dengan relief Swargarohanaparwa. Penggambaran ketiga dunia tersebut menunjukkan tahapan yang harus dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup di Nirvana. Semuanya itu merupakan simbol menuju keabadian atau kesempurnaan yang diwujudkan melalui upacara keagamaan atau RUWAT. Ruwat adalah salah satu sarana untuk meningkatkan derajat seseorang menuju tingkatan yang lebih suci yaitu hilangnya mala dalam diri atau moksa.
Halaman ini merupakan teras paling bawah, yang terdapat gapura masuk berbentuk Paduraksa. Siapapun yang masuk ke Candi ini, diingatkan bahwa kehidupan ini tidaklah mudah. Kesulitan hidup disebabkan oleh melekatnya mala dalam diri manusia. Pahatan relief Garudeya merupakan salah satu cara mengingatkan manusia akan sulitnya kehidupan.
Di Gapura ini terdapat Sengkalan yang menandakan dibuatnya Bangunan suci ini, Sengkalan “Gaporo Buto Abang Wong” juga tertulis huruf jawa kuno = 1359 saka/1437M. Relief tersebut menggambarkan seorang manusia yang ditelan raksasa.
Halaman semi sakral, dimana umat manusia disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan melakukan upacara penyucian menggunakan air suci atau amrta, adanya relief Pande Besi menggambarkan ini. Karena pada masyarakat jawa kuno golongan ini (Pembuat Pande Besi/Empu) memiliki status khusus yang dianggap memiliki kekuatan magis, mereka mampu memberikan air bertuah yang suci = amrta.
Halaman III
Halaman sakral, dimana terdapat bangunan utama dan relief-relief yang menggambarkan sebuah cerita penggambaran kehidupan.
Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
Relief Garudeya
Menceritakan pembebasan Winata dari perbudakan Kadru oleh Garuda dengan menggunakan air amrta. Winata- Ibu Garuda – menjadi budak Kadru- ibu para naga- karena kalah bertarung tentang warna ekor kuda Ucchaisrawa yang keluar selama pengadukan lautan susu (samudramanthana)
Relief Bima Suci
Drona memerintahkan Bima mencari air kehidupan di Gunung Candradimuka, dalam perjalanan Bima bertempur dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Kedua raksasa tersebut kalah dan menjelma menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra. Kemudian Bima melanjutkan perjalanan menuju samudera dan bertemu Dewaruci. Menyatu melalui telinganya dan menemukan hakekat air penghidupan.
Relief Ramayana
Mengisahkan percintaan antara Rama dan Sinta yang menghadapi banyak ritangan. Ketika mereka mengembara, Sinta diculik oleh Rahwana, raja Alengka. Atas bantuan Laksamana dan pasukan Kera, Anoman sang pemimpin pasukan kera. (img_arwana) Rama berhasil membebaskan Sinta dan mengalahkan Rahwana. Sinta membuktikan kesuciannya dengan membakar diri hidup-hidup, seketika api berubah menjadi teratai.
Relief Swargarohanaparwa 
Menceritakan perjalanan Pandawa menuju surge setelah perang Bharatayudha. Dalam perjalanan itu Drupada meninggal terlebih dahulu, diikuti Arjuna, Sadewa, Nakula, Bima. Hanya Yudhistira yang tertinggal. Ia kemudian didatangi dewa Indra, diajak menuju surge dengan keretanya, akan tetapi Yudhistira menolak kecuali dengan anjingnya boleeh ikut serta. Sesampainya disurga Yudhistira melihat Kurawa dalam kesenangan dan Pandawa dalam Kesengsaraan. Ia memilih bergabung dengan saudaranya. Seketika tempat tersebut menjadi surga.
Relief Bima
Menggambarkan Bima yang sedang membunuh raksasa dan terdapat tulisan dalam huruf kawi ‘pedamel rikang buku tirta sunya’ = 1361 Saka (1439 M).
- Samuderamanthana
Pengadukan lautan susu yang dilakukanoleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan air kehidupan/ amrta. Pengadukan tersebut mengunakan Gunung Mandara dengan Naga Besuki sebagai pemutarnya,kura-kura Akupa yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu menyelam ke dasar laut menjadi pondasi agar gunung mandara tidak tenggelam.
Pada teras ketiga, terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab ca...Lihat Selengkapnya
Relief & Arca Perlambang Kehidupan Pria dan Wanita

1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Monday, February 11, 2013

MAMPIR NGOMBE

terminology jawa : di dunia ini hidup adalah "mampir ngombe" (mampir untuk sekedar melepas dahaga) menggambarkan bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan yang sangat sementara sekedar minum namun meski hanya mampir tetap ada tugas dan sesuatu yg harus dijalankan selama mampir ini, jadi tujuan hidupnya bukan di dunia itu ... lalu ?

PERJALANAN DAN TUJUAN
sebagaimana orang yang menempuh perjalanan kita mempersiapkan segala sesuatu. bekal, kendaraan, baju2 ganti mungkin peta. kemana tujuan perjalanan manusia dalam terminilogy jawa juga dikenal "Bali mring Kasunyatan ing alam kelanggengan" kembali pada Kasunyatan di alam keabadian ya tak lain "sangkan paraning samubarang dumadi" asal dan tujuan segala makhluk. makhluk hidup maupun tak hidup. hidup dan tak hidup dlm termonology umum ini mengacu pada ilmu hayat, ilmu pengetahuan alam, atau ilmu biology dimana yang disebut hidup memiliki ciri2 bernafas, berkembang biak dsb. namun sebenarnya semua juga menempuh perjalanan baik yg disebut hidup atau tak hidup sekalipun... dari tidak ada kembali ke tidak ada karna sejatinya kita ini juga TIDAK ADA. dan tak ada apapun ... apapun ... selain YANG AWAL dan YANG AKHIR ya YANG SEJATI itu sendiri yang tak dapat digolongkan sebagai sesuatu. kalau sekarang dalam tulisan ini disebut seperti rangkaian huruf di atas itu YANG SEJATI biar kita lebih mudah memahami, semoga ketemu pengetahuan yg berguna. mau disebut TUHAN mau disebut GUSTI mau disebut ALLAH, NIBBANA, JAH atau disebut apapun monggo semoga panjenengan menemukan tujuan yang dimaksud SANGKAN PARANING SAMUBARANG DUMADI.
sebuah perjalanan bepergian untuk mudahnya dibayangkan ada sebuah rumah yang kita tuju. di sebuah kota yg jauh, di jalan kita kadang berhenti di rumah yg lain untuk minum mungkin sekali mungkin berkali kali tergantung bagaimana route perjalanan kita ya tak lain jalan hidup setiap orang yg setiap orang tidak sama. kita bisa menambah bekal di tiap persinggahan. sepanjang perjalanan mungkin kita ditolong dan mungkin juga kita berkesempatan menolong orang lain. setidaknya kita mestinya bisa mengurus diri sendiri jangan sampai memberatkan orang lain.

PERBEKALAN
kita juga dijamu dengan makanan dan minuman kita bisa bergaul dan bertemu orang2 lain yang sama2 mampir. semua orang sudah disediakan jatah makan minum oleh yang punya rumah tapi jika kita punya cukup sisa bekal bisa juga membeli dari orang sesama penjalan yg punya sesuatu berlebih. kalau kita banyak modal juga bisa berdagang. tapi jangan keasyikan dengan tempat mampir ini tujuan kita adalah bertemu Yang Maha Berpunya yang memiliki tempat mampir ini juga tapi tak mudah mungkin beliau sedang tidak di rumah ini mungkin sedang tidak ingin menerima tamu, banyak kemungkinan. bekal, sarana peralatan, kendaraan, baju semua itu hanya kita perlukan selama menempuh perjalanan. terlalu banyak bekal juga jadi berat dan sulit bergerak, harus mengurusi bekal malah urusan yg utama terlupakan.

TUAN RUMAH suatu saat nanti kalau mau ketemu Yang Punya Rumah semua bekal harus diletakkan tak perlu pikiran kita terbagi lagi karna diberi kesempatan untuk bertemu semua yang lain jadi tidak penting, masuk ke ruangnya alas kaki harus di lepas, jaket dan semua kita haros benar2 polos dan bersih tak ada apapun yang dapat kita pamerkan untuk mengambil hatiNya.
jika sudah demikian dekat tujuan ataupun tempat mampir minum bekal2 kita mungkin sudah habis kita pakai mungkin ada yg tersisa tapi kalau dapat janji bertemu tuan rumah di depan pintu kamarnya kita harus letakkan juga bersama tas juga sandal atau sepatu kita lepas. baju jaket dan bawaan2 lain akan dilepas untuk masuk dan bertemu tuan rumah. tapi belum tentu kita langsung bertemu yang punya rumah.
dan kita tak memerlukan apa2 untuk bertemu yang punya rumah ini. karena yang punya rumah adalah Yang Maha Kaya, Yang Maha Pemberi dan segalanya. jika kita bisa bertemu kita mungkin diberi tahu "memang di sinilah tempat tujuanmu" atau diberi tahu "kamu harus meneruskan perjalanan ke "anu" untuk melakukan "anu"" diberi tugas, atau malah kita tak sempat diterima oleh yg punya rumah atau malah ada sesama orang mampir yang mengaku ngaku sebagai yg punya rumah atau mengaku bisa mempertemukan memanfaatkan kita, kita harus pandai2 dan mengenal sifat2 dan ciri2 Yang Maha Berpunya itu. belum tentu yang banyak dibicarakan orang adalah benar2 yang punya rumah, mungkin hanya orang mampir yg punya banyak teman. apakah kita sudah tahu kita sampai di tujuan akhir atau hanya tempat mampir minum, sebelum bertemu yang punya rumah kita tak tahu.

MAMPIR DI PERSINGGAHAN
di setiap tempat mampir minum kita bertemu orang lain kita bergaul berkenalan bertukar pengetahuan bertukar pengalaman. juga bertemu orang2 yang suka mengganggu, suka mengambil milik orang lain, suka membohongi dsb.
bagaimanapun kita wajib untuk menjaga perilaku kita. kita hanya singgah dan berada di situ hanya sementara kalau sudah waktunya kita harus pergi apapun kalau bukan milik kita kalau bukan diberikan ke kita tak boleh kita bawa dan memang tak bisa. apa sopan, apa nggak malah memalukan pas waktunya pergi kita masih memegangi sesuatu yg bukan milik kita kita tarik keluar tak bisa kita jadi perhatian orang dilihat orang banyak malah mungkin ada satpam yg harus melakukan tindakan agar kita melepas pegangan ke benda yg bukan milik kita itu. belum lagi setelah diseret keluar digebukin karna banyak bikin masalah dan merugikan orang lain. kalau memang kepunyaan kita meski tertinggal di pintu gerbang nanti juga ada yg memberitahu menyusulkan atau memberi tahu "pak nanti kepunyaan bapak akan disusulkan di tempat mampir berikutnya". semakin baik tingkah laku kita selama di persinggahan semakin baik pula perlakuan para penjaga dan pegawai di tempat2 persinggahan berikutnya meski tetap saja kalau belum waktunya kita ketemu yang punya rumah ya tetap belum bisa ketemu. dimanapun kita selalu NGUNDHUH UWOHING PAKARTI.
meski begitu tiap kali mampir kita harus menjalankan tugas, yaitu tugas yg harus dijalankan di tiap tempat mampir. kita harus menjaga tempat yg diberikan kepada kita merawatnya syukur2 kita bisa berkarya dan membuatnya lebih baik dari sebelumnya. lebih baik lagi kalau itu juga berdampak lebih luas semua yg mampir bersama kita ikut merasakan dan kalau kita pergi kita meninggalkan jejak yg baik, karya kita yg berguna bagi orang2 yg mampir setelah kita pergi. yg dalam terminologi Jawa disebut dengan istilah MEMAYU HAYUNING BAWANA.
ada juga kalanya kita ketemu tamu lain sesama penempuh perjalanan orang yang jahat entah apa perkaranya entah ia ingin memiliki apa yg kita bawa entah memang suka pertengkaran kadang orang seperti itu berbuat melebihi batas melakukan hal nekat hingga kita terusir keluar sebelum waktunya entah dengan jalan apapun walau secara paksa para petugas bukan membiarkan tapi mengamati saja toh nanti juga ia harus lewat gerbang sebelum terpaksa meneruskan perjalanan. bisa diberi tahu "sudahlah pak nanti barang2 bapak akan disusulkan ke tempat mampir berikutnya silahkan terus saja tak apa kok" yah terpaksa pergi meski dengan bekal minim, harus meninggalkan teman, kenalan dan orang2 yg kita sayangi dan menyayangi kita meski tahu mereka juga sedih menangisi kepergian kita. nanti di tempat persinggahan berikutnya di gerbang kita juga suda dikenali oleh para petugasnya "Ah... bapak sudah ditunggu teman2 bapak di sana milik bapak nanti juga akan kami antar ke sana, tolong pak nanti dekati si "anu" tugas bapak menolong dia kali ini" lalu kita masuk dan bergabung di tempat persinggahan yg suasananya berbeda dengan di tempat sebelumnya.
tanpa kita tahu sebenarnya petugas selalu mengawasi dan mengikuti kalau kita tak suka bertingkah berlebihan, walau kita kadang jadi korban kejahatan oleh pengunjung yang lain, meski solah kita tak ditolong tapi kita selalu dijaga. apalagi kalau kita punya tugas yg harus dilakukan.
akhirnya kita ketemu si "anu" yg dipesankan petugas di gerbang tadi ... oh rupanya cantik juga nih... dan kita ditugaskan menolongnya ... menolong apa ? sambil terus meneruskan kita juga akan tahu tugas kita harus menolong si "anu" dalam hal apa. dan kitapun harus berusaha melakukan sebaik baiknya. sesekali ada penjaga menyusulkan "pak ini rokok bapak yg dulu tertinggal di persinggahan yg dulu, tadi ada yg mengantar" wah sampai barang2 kecilpun nggak hilang.

PERPISAHAN
sampai datang saatnya kita harus pergi saat semua tugas sudah selesai dilakukan dan kita sudah tahu waktunya tak lama lagi. kita pamitan pada si "anu" kita harus berpisah dan juga pendatang2 baru yg ikut bersama kita. tolong jaga ibu"anu" sudah waktunya aku harus pergi. lalu kita menyingkir ke sudut ke tempat kasir berapa yg harus kita bayar, tadi makan apa saja, kita mau bawa apa saja untuk bekal di jalan, kerusakan apa yg tak sengaja kita lakukan bayar lunas deh... eh ternyata ada juga imbalan untuk hal2 kecil yg kita lakukan lumayan juga total2 malah untung. keluar rumah menuju gerbang untuk melapor sambil menyapa para penjaga gerbang ada pesanan2 dan barang2 kita yg dulu tertinggal ternyata sudah menunggu jadinya ya kita bawa deh naik kendaraan meneruskan perjalanan.
dan hidup ini tak lebih sebuah perjalanan,
yang panjang dan tak tahu kapan berakhir.
namun kita tahu pasti akan ada akhirnya
tapi jika kita sudah tahu akhir itu
artinya kita sudah atau segera sampai di sana
kalau sudah seperti itu kemungkinan besar
aku tak dapat dan tak akan cerita seperti ini.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

PANGERAN ASTAPATI

A.   Prawacana

Dimensi ruang, waktu dan budaya masa lalu dalam dinamika dan perspektif sejarah, senantiasa memiliki kaitan erat dengan tokoh, manusia dan kemanusiaannya. Ini antara lain disebabkan bahwa dalam sejarah bidang apa pun, manusia tetap menjadi tema sentral kajian dan pengungkapan sejarah.
Manusia sebagai subyek sejarah, tentunya memiliki konsekuensi bahwa setiap kupasan tentangnya senantiasa pula memiliki subyektivitas, sekali pun upaya-upaya pengungkapannya diusakan untuk menjadi obyektivitas secara maksimal. Tokoh, manusia dengan kemanu- siaannya, antara lain dapat ditelaah dan dimengerti melalui peninggalan-peninggalan berupa benda, baik sebagai pembuktian langsung maupun tidak langsung. Subyektif sejarah itu muncul, sebagaimana diakui oleh Mr. A.K. Pringgodigdo:
 " . . . barangkali akan terlihat pula bahwa yang menulis adalah anak bangsa Indonesia dan barang kali terdapat pula dalam buku ini satu dua pemandangan atau kesimpulan dari penulis yang sangat bergandengan dengan haluannya sendiri, . . ." (1949: 13).

Subyektivitas sejarah itu muncul pula, sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Noegroho Soesanto:
" . . . Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian manusia, karenannya tidak memiliki realitas obyektif, melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata di masa lampau (1974:IV). Subyektivitas itu pulalah yang menyebabkan terjadinya perbedaan visi, misalnya, Belanda menyatakan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak, sebaliknya, para sejarawan dan rakyat Indonesia dengan kacamata nasionalnya menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan dan pejuang (1987:47).
Prof Dr. Haryati Soebadio mengingatkan dengan tegas, bahwa:
"Sejarah apa pun dan di kawasan mana pun di dunia ini penuh dengan peristiwa yang di satu sisi bisa menimbulkan aneka macam lagenda dan bahkan mitos, sedangkan di sisi lain bisa seketika terlupakan  karena memang selamanya pasang surut, masa keemasan di samping masa pergolakan dan bahkan kemusnahan." (1991 a: 69).
karena itu ia sekali lagi menggarisbawahi agar:
" . . . sejarawan perlu mawas diri, supaya ia tetap menjaga integritasnya sebagai peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai ilmiawan tidak diharapkan memberi tafsiran yang melanggar etika ilmiyahnya. Ia mutlak harus mampu menghadapi sekalian peristiwa dan kejadian-kejadian di sekitarnya dengan sikap seobyektif mungkin dan serasional mungkin . . ." (1991 b: 7-8).

Namun demikian, kita tetap menyadari arti penting kajian sejarah be- serta peninggalan/warisan budaya masa lalu atau dikenal dewasa ini de-ngan istilah benda cagar budaya. Di dalam penjelasan Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Presiden Soeharto menegaskan bahwa :
"Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa."
Maka sesungguhnya, makna sejarah diakui penting dan karenanya diperlukan. Memang diakui seringkali terjadi terdapat kesenjangan interpretatif antara sejarah sebagai peristiwa maupun sejarah sebagai kisah, atau dengan perkataan lain memang terdapat perbedaan nuansa antara sejarah yang benar-benar terjadi dan sejarah sebagaimana diceritakan. Tetapi yang penting, para sejarahwan dan masyarakat pemakai informasi kesejarahan, menyadari dan menghindari segala kemungkinan penyusunan sejarah yang sebaiknya, karena itu akan berarti sebagai penipuan sejarah.
Bagaimana pun, sejarah senantiasa memiliki perspektif masa depan, dan karena itu tidak ada alasan untuk bersikap pesimistik. Peryataan G.J. Reiner yang sungguh membesarkan hati :
" . . . it is better, therefore, far better, that he should confess, to himself and to his readers, the nature of his approach, display his bias . . ." (1961: 174)

Keterbukaan sikap tersebut jelas amat diperlukan, mengingat bahwa:
"Reality is not 'rational' or 'realistic' in the sense that everything which exists or happens is logical or necessary or explicable, most of it is surprising, fantastic and improbable . . ." (Marc Bloch, 1954).
Dalam kajian ilmu sejarah sedikitnya terdapat dua teori kebenaran yang pada umumnya memiliki relevansi terhadap pengujian kebenaran fakta sejarah, yakni apa yang biasa disebut dengan teori kebenaran korespondensi (correspondance theory of truth) dan teori kebenaran kohe-rensi (coherence theory of truth) (WH Walsh, 1970: 74-75).

Walsh menyatakan bahwa teori korespondensi mengacu pada: se-suatu itu (pernyataan) benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya (yakni apa yang benar-benar telah terjadi). Sementara itu teori koherensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila cocok (coherence) dengan pernyataan- peryataan lain yang pernah diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.
Ilmu sejarah berusaha menerangkan masa lampau, keterangan se-jarah adalah keterangan sejarah jika hanya bertautan dan berkaitan kuat pada bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti sejarah terdiri dari berbagai ragam, mulai dari segala jenis dokumen, arsip, peta kuno, silsilah, mata uang, prasasti, pada berbagai media (termasuk nisan), peralatan, pemukiman kuno, pelabuhan kuno, sisa-sisa pertahanan/perbentengan, sisa bangun-an, teknologi, natulasi, dan sebagainya.
Para sejarawan juga diminta perhatiannya terhadap berbagai sumber, seperti berita perjalanan, catatan harian, hikayat, tambo, legende dan sebagainya, karena sekali pun sebagian dari sumber-sumber itu meng-alami reduksi mau pun imbuhan, secara keseluruhan mengandung fakta sejarah  tentang sesuatu peristiwa, gejala, atau sesuatu hal. Transformasi data dan keutuhannya dipengaruhi oleh perjalanan waktu, perubahan persepsi serta proses pewarisannya.

Karena itulah dalam penyusunan dokumen historica ini, khususnya ketika pembahasan menyentuh para tokoh, akan dihindari sedapat mungkin berbagai penafsiran yang subyektif meski pun tidak mungkin 100 %. Salah satu misal, kehebatan sesuatu pertempuran akan diukur melalui jumlah pasukan yang terlibat, taktik dan strategi yang digunakan, teknologi peralatan, lama pertempuran, jumlah korban atau kerusakan dan sebagainya. Bukan pula dengan dramatisasi berlebihan mengarah pada retorika.
Mengenai kebenaran, dalam penulisan dokumenta historika sepenuhnya diserahkan kepada khalayak pembaca. Apabila sesuatu sumber berasal dari tradisi lisan, akan disebut tetap sebagai tradisi lisan, tetapi sebaliknya pula, apabila sesuatu sumber memang berasal/merupakan dokumen yang otentik, juga akan disebut sebagai dokumen otentik yang telah teruji kebenarannya. Kisah sejarah Pangeran Astapati mau pun  Raden Cakradiningrat pun tak lepas dari sikap dan disiplin serupa.

Kembali pada tujuan penulisan dokumenta historika ini, tak sekedar untuk mencoba membina ulang satu pohon genealogi, dan jauh dari segala prasangka dan dramatisasi peran atau kedudukan para tokoh yang kebetulan ada di dalamnya. Peranan para tokoh, jika pun ada, hanya akan disebutkan jabatan formal, misalnya residen, regent, wedana, asisten wedana, demang, kontrolir, polisi praja dan sebagainya.

B.   Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati
Kehadiran sosok tokoh Pangeran Astapati dalam konteks sejarah kesultanan/daulah Islam Banten, berada pada bentang waktu masa sultan Banten ke-VI. Benteng waktu mana penuh dengan konflik serta intrik istana atau kalangan pucuk pemerintahan, yakni masa pemerintahan Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar Sultan Haji yang memerintah dari tahun 1672 - 1687 (Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, 1990: 162).
Sultan Haji adalah anak kandung sulung Sultan Ageng Tirtayasa 'Abul Fath 'Abdul Fattah yang memerintah dari tahun 1651 - 1672. Dari keempat istrinya Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai 27 anak (putera dan puteri), di mana sesuai dengan kebiasaan dalam tata pemerintahan, beliau mengangkat putra pertamanya menjadi "Putra Mahkota". Jabatan ini biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi Pembantu atau Mangkubumi Kedua dalam struktur pemerintahan (Husein Djajadiningrat, 1983: 208). Wewenang Putra Mahkota cukup besar, mengingat setiap keputusan kerajaan, merupakan hasil musyawarah antara Sultan, Mangkubumi dan Putra Mahkota. Karena itu pula maka lazim Putra
Mahkota mempunyai pembantu-pembantu sendiri.

Pengangkatan Pangeran Gusti menjadi Putra Mahkota ini terjadi pada tanggal 16 Pebruari 1671 bertepatan dengan datangnya surat dari Syarif Mekkah yang isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti berhak menyandang gelar Sultan Abun 'Nasr Abdul Kahhar, yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji. Sultan Haji diberi wewenang mengatur seluruh urusan dalam negeri (internal affairs), sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa berwenang mengatur seluruh urusan luar negeri (external affairs).

Kronologi serta dimensi situasional Banten pada waktu itu, mungkin dapat diurut dalam proposisi-proposisi sebagai berikut (Halwany Microb dan Mudjahid Chudari, 1990: 106-107).:
1.    Sultan Abulfath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa terkenal sebagai salah seorang sultan Banten yang amat anti Belanda, karena itu ia membangun istana kedua di front depan, yakni di desa Tirtayasa, desa terdekat untuk menyerang Belanda di front Tangerang dan Angke. Karena itu Sultan ini, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa;

2.    Keberadaan Sultan di Tirtayasa meninggalkan Surosowan sebagai pusat administrasi kesultanan Banten, dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk mengadu-domba dan memecah-belah elite kerajaan, yang justru memperhadapkan Sultan dan Pangeran Purbaya (putera kedua) di satu pihak dengan Sultan Haji beserta pengikutnya yang berbasis di Surosowan.

3.    Kompeni Belanda menghasut Sultan Haji (Putra Mahkota), ketika sekembalinya ia dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah, mendapati keadaan di mana Pangeran Purbaya yang mempunyai sikap/watak jauh lebih baik dari pada kakaknya, akhirnya Sultan haji lebih percaya kepada Kompeni Belanda yang dianggapnya sebagai kawan sejati, daripada lingkungan keluarga dekat/istana yang ia anggap memusuhinya.

4.    Persahabatan antara Sultan Haji dan Kompeni Belanda sampai pada tahap yang menghabiskan kesabaran Sultan Ageng antara lain de-ngan tindakan-tindakannya:
a.    memasukkan satuan tentara Kompeni sebagai pasukan tambahan di Surosowan;
b.    mengirimkan utusan ke Batavia yang memberitahukan pada VOC bahwa yang berkuasa di Banten-Surosowan pada saat itu adalah dirinya (Sultan Haji) dan bukan lagi ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa);
c.    mengirimkan ucapan selamat kepada Speelman atas diangkatnya yang bersangkutan sebagai Gubernur Jendral VOC di Batavia, padahal Kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon sehingga Kompeni dapat menguasai Cirebon keseluruhannya.

Hal-hal tersebut semakin memperuncing keadaan dan terbelahnya kekuatan politik-militer pribumi Banten dalam berhadapan dengan Kompeni Belanda, yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan Banten. Sikap politik Sultan Haji tersebut kemudian berbuntut dengan:
1.    Penyerbuan Sultan Ageng ke Surosowan yang berakibat dapat didukinya Surosowan,
2.    Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC.
3.    Bantuan VOC terdiri dari pasukan-pasukan: (a) yang dipimpin Kapten Francois Tack dan pasukan Saint Martin menyerbu dari arah Teluk Banten, sedangkan (b) pasukan darat 1000 orang yang dipimpin Kapten Hartsinck dari Batavia menyerang Tangerang, sehingga Tirtayasa dapat diserang dari arah Banten mau pun Tangerang.
Peperangan yang memakan waktu panjang dan jatuhnya korban jiwa serta kerusakan di kedua belah pihak dalam jumlah yang amat besar, melalui siasat yang amat licik, akhirnya peperangan dapat dihentikan dengan dapat ditangkapnya serta dipenjarakannya Sultan ageng Tirtayasa pada tanggal 14 Maret 1683. Sebagaimana diketahui awal penyerbuan VOC adalah pada tanggal 6 Maret 1682, berarti lama peperangan ±1 tahun.
Dalam keadaan terbelah, maka tentu saja kedua belah pihak, yakni Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji (ayah dan anak) memiliki pasukan dan panglima perang yang andal. Menurut tradisi Pangeran Astapati diketahui sebagai panglima perang Sultan Banten yang ke- 6 adalah Sultan Abu'n Nasr Abdul Kahar gelar Sultan Haji.

C.   Identifikasi Pangeran Astapati
Menurut tradisi, Pangeran Astapati adalah salah satu panglima perang Banten pada masa pemerintahan sultan Banten ke-6, berasal dari Baduy. Untuk menelusuri identifikasi tokoh Pangeran Astapati ini, maka akan dikaji hubungan-hubungan antara (1) Baduy dengan Banten, dan (2) Pangeran Astapati dengan Banten dan Baduy. Kajian tentu didasarkan pada :
1.    sejarah tutur (oral history), dan
2.    pendekatan sumber tulisan (written evident approach) baik dari produk sastra (serat, kidung, wawacan dan lain-lain) maupun "ceritera" sejarah yang pernah ditulis.

Penduduk Baduy yang berbahasa Sunda ini, menamakan dirinya sebagai orang Kanekes, sedangkan istilah Baduy adalah sebutan orang luar yang justru tidak disenangi oleh orang Kanikes itu sendiri. Nama Kanekes berasal dari nama Sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu. Selain itu nama orang Kanekes biasa pula menamakan dirinya orang Rawayan. Nama ini berasal dari nama sebuah Sungai Cirawayan, dekat kampung Cikeusik di daerah Baduy Dalam (Nurhadi Rangkuti, 1987: 21-22).

Mengenai hubungan Baduy dengan Banten, dapat ditelusuri dari berbagai sumber naskah kuno seperti: Cariosan Prabu Silihwangi, serta sejarah tutur (oral history) atau yang kemudian dikembangkan sebagai life histories approach (Yudistira Garna, 1991: 73-74).

Banyak orang beranggapan bahwa orang Baduy adalah keturunan orang pelarian dari Pajajaran ketika kerajaan itu jatuh ke tangan pe-nguasa-penguasa/kerajaan pantai yang beragama Islam, kemudian orang-orang yang lari itu tidak mau masuk/beralih ke agama Islam.

Menurut kajian N.J.C. Geise (1991; 70), berdasarkan Cariosan Prabu Silihwangi (CPS), dinyatakan bahwa Prabu Silihwangi mengadakan hubungan persekutuan dengan tujuh raja, yaitu Raja Ponggang, Singapura, Sumedang, Kawali, Panjalu, Pekalongan dan Blambangan (N.J.C. Geise, 1952: 204). Nama Sultan Banten tidaklah disebut.

Berdasarkan rekaman tutur Jaro Sarpin yang pada waktu wawancara dilakukan berfungsi sebagai Jaro Gupernemen (penghubung antara masyarakat Baduy dengan Gupernemen mana saja), dapat diamati me-ngenai pandangan orang Baduy sendiri mengenai diri mereka sendiri (inward looking), seperti berikut ini:

"Bulan Kawalu, Bulan Karuhun, wangatua urang, paradalam Prabu Siliwangi asup jadi urang Pakuan, nya eta maung. Dipenta ku Jaro kaselametan. Bisa ngarekakeun jelema, manehna ngarupakeun jelema ngajagi, ngaraksa umat-umat Jaro, lamun puasa, titipan urang Pakuan, geus ku Jaro pantangan sagala rupa geh, sabab dipenta-penta kasalametan tina karuhun tea. Diurus dina bulan Kawalu, di tanggal delapan belas. Hayang cunduk cimarang aturan, cimereng micara, anak umat-umat, anak putu-putu sakbeh, anak putu Kanjeng Nabi Muhammad sakabeh, bangsa Cina, Blanda, supaya jajakertana, jauh belahina, salamet dirina, jajaperangna, parek rejekina" (Geise, 1991: 70-71).
dari self-identification tersebut, nampak jelas bahwa dalam sikap kandang  orang Baduy hanya terdapat dua tatanan masyarakat, yakni: Baduy dan non Baduy. Pengetahuan mereka mengenai struktur/tatanan non-Baduy amat terbatas, seperti yang mereka katakan:

"Pulau Banten jeung negara telung puluh, salawe pancanegara, sakolong langit, satangkarak lemah"
yang semuanya itu:
"Tangtu Tilu anu ngurusan, Jaro dangka anu napaan."
selain itu, betapa lugas sikap mereka:
"Jelema Kanekes tara takluk ka Gupernemen."

Dari rekaman sikap-sikap orang Baduy tersebut di atas, tampak bahwa Prabu Silihwangi beserta rakyat dan tatanannya bukan merupakan acuan dari masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy memiliki hubungan yang jauh lebih dekat terhadap Ratu Banten seperti yang dituturkan oleh Ki Jalceu pada sekitar tahun 1982, yang menyatakan sikapnya sehubungan dengan hilangnya satu benda pusaka mereka. Ia menyatakan:
"Ayeuna teh usum halodo panjang, naha winduan atawa seuseulan ? Ceuk kami mah seuseulan, sebab Sangiang Pakombaan, nyaeta tutunggangan Ratu, nu kudu dijaga ku katurunan Puun, leungit. Sangiang Pakombaan teh kapan tutunggangan atawa titipan Ratu Banten, ratu urang sarerea
Tapi bukan berarti Baduy di bawah Banten, sedangkan hubungannya dengan Siliwangi, dikatakan Ki Jalceu sebagai berikut:

"Siliwangi di kami euweuh tuturunananan. Da turunan Siliwangi mah aya di Bogor. Jang kami urang Baduy, ngasuh ratu ngayak menak. Menak mah nyaeta anu ulung-ulung, anu ngaraksa nagara. Di kami mah euweuh menak. Namun para Dalem mah aya." (Yudistira Garna, 1991: 76-77).

Dari uraian terakhir, nampak inward-looking orang Baduy pada dasarnya :
1.    Orang Baduy atau orang Kenakes atau orang Gejeboh atau orang Kaduketug, memiliki hakekat pengetahuan tentang dunia luar, yang yang berkaitan dengan pembagian tugas bagi orang Baduy sebagai keturunan Karuhun untuk memelihara kelestarian kehidupan termasuk "mengayomi" Ratu Banten.
2.    Namun demikian Ratu Banten bukan penguasa Baduy, dan raja-raja Silihwangi bukan karuhun orang Banten.
Selain itu, ada pula ceritera-ceritera yang terutama diketahui oleh tokoh-tokoh masyarakat Baduy tentang riwayat Ratu Banten, yang bersama pengiringnya meninggalkan Banten, memudiki Ciujung dan akhirnya sampai di daerah sekitar mata air Ciujung di Pegunungan Kendeng, selenjutnya menetap disana. Mereka itulah nenek moyang orang Baduy. Di desa Kanekes terdapat sebuah kampung yang penduduknya beragama Islam, yaitu di kampung Cikakal Girang (Kodrat Subagio, 1976).

Pangeran Astapati dipercayai sebagai salah seorang pemimpin perang Sultan Banten ke-6 yang berasal dari Baduy. Menurut tradisi lisan, sesuai yang dituturkan oleh para keturunan Pangeran Astapati dan juga juru kunci makam Pangeran Astapati di Odel. Disebutkan dalam tradisi sejarah tutur tersebut, bermula dari Sanghyang Tunggal adalah Ratu Sunda/Parahyangan, yang berputera: (1)  Batara Cikal (yang meninggal semasa berusia muda), dan (2) Batara Patanjala (yang memerintah di Baduy, sedangkan putera ke-3, 4, 5 yang namanya tidak disebutkan, diperintahkan untuk memerintah di "salawe (25) nagara", termasuk di daerah Sunda, Priangan dan pulau-pulau kecil di sekitar Sunda/Priangan.

Dalam ingatan para pewaris Pangeran Astapati itu, disebut-sebut pula mengenai Banten merupakan pusat, sesuatu negara besar yang penuh dengan keramat. Batara Patanjala berputra antara lain Batara Bungsu yang ditugaskan melanjutkan pemerintahan di Baduy. Selanjutnya, salah seorang putera Batara Bungsu, yakni Ksatria Ki Dukun Putil yang juga berpangkat sebagai "Girang Pu'un" berkedudukan di Cikatarwana, merupakan putra yang diserahi untuk mengurus pengaturan, kemakmuran, keadilan dan keamanan "negara' Baduy.

Dukun Putil ini juga mempunyai beberapa anak, yang salah satu di antaranya tidak merasa puas terhadap tradisi hidup di Baduy, jiwanya menolak adat istiadat serta kebiasaan di Baduy, yakni putra yang bernama Raden Wirasuta.
Pada saat yang sama, Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa - 'Abulfath 'Abdul Fattah, Sultan Banten ke-6, ayah dari Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar atau Sultan Haji, yang kemudian menjadi sultan banten yang ke-7.

Beranjak dewasa Raden Wirasuta datang ke Keraton Surosowan, diterima sebagai bujang yang bertugas mencuci, di dapur, membersihkan pekarangan dan mengurus kuda. Dengan pekerjaannya itu, Raden Wirasuta menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Sultan, sehingga ia diangkat menjadi prajurit, lantas dinikahkan dengan salah seorang puteri Sultan (Ratu Dahlia), diangkat menjadi menteri negara merangkap sebagai panglima perang.

Dalam naskah Sajarah Banten Rante-rante, pupuh LXIII, antara lain disebutkan pula bahwa Pangeran Wirasuta (Raden Wirasuta), merupakan salah seorang Panglima yang dipercayai Sultan untuk menghadapi serangan armada kapal perang Belanda dari arah teluk Banten. Untuk sejumlah meriam dipersiapkan untuk menembaki kapal dari arah kota Surosowan. Meriam-meriam itu diatur dan dipercayakan kepada beberapa panglima, yaitu meriam-meriam: Jaka Tua kepada Pangeran Papatih, Jaka Pekik kepada Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Wetan, Muntab kepada Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran Wirasuta . . . (Husein Djajadiningrat, 1983: 76).

Pada waktu meng-Islam-kan Sriwijaya, dan setelah beres kembali ke Banten, di tengah laut selepas Lampung, Pangeran Wirasuta diserang secara pengecut (di-dodoho atau dibokong) oleh Ratu Dorah Putih, yang mengakibatkan luka parah (putus?) lengannya.

Tak lama setelah tiba di Surosowan Pangeran Wirasuta wafat, dimakamkan di Kasemen, dengan gelar Pangeran Astapati. Keramat makam/pesareannya kemudian hari menjadi makam keluarga keturunan para bangsawan Lebak Parahyang, dan tumbuhnya Amanat Karuhun yang berbunyi:

"Turunan atawa teureuk menak Lebak Parahyang teu menang nikah ka urang Palembang eujeung Lampung."

Pada dasarnya amanat karuhun tersebut memantangkan/melarang keturunan Menak Lebak Parahyang untuk menikah/kawin dengan orang Palembang atau Lampung.

Pangeran Astapati atau Raden Wirasuta Akmaldiningrat mempunyai anak:
1.    Ki Ngabehi bahu Pringga (Patih Darus)
2.    Ki Anab
3.    Nyai Dariah
4.    Kiai Gantang
5.    Nyai Andil
(pada keadaan sekarang, makam-makam anak ke-1, 2, 3 itu berjajar, sedangkan Kiai Gantang di bawah pohon santigi, dan Nyai Andil di dekat Urut Situ di Pasir Waluh, Lebak).

Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih Darus) menurunkan putera-putera ada yang menjadi ulama ksatria, santana (menak) dan petani. Yang menjadi kesatria/menak antara lain K.H. Kimaslia yang kemudian menjadi ulama sekaligus menak yang memegang kuasa atas daerah kabupaten Pandeglang dan bergelar R.T.A.A. Natadiningrat, yang juga dikenal sebagai Dalem Tjekek, setelah wafat dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Natadiningrat mempunyai 26 orang anak laki-laki dan perempuan (dari lain-lain istri), di antaranya ada yang melanjutkan tradisi keratuan, yaitu:
1.    Raden Murawan Sutadiningrat
2.    Raden Bagus Djajadiningrat

Sutadiningrat mempunyai anak antara lain (1) Raden Tjakra-diningrat, dan (2) Raden Tanu Sura Adiningrat (melanjutkan memerintah Tjaringin (Menes) dan Pandeglang, dan dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Sementara itu Tjakradiningrat ditunjuk menjabat di daerah Peucang, kemudian menjadi Wedana di Cilegon, sampai akhirnya tewas menjadi korban dalam pemberontakan Cilegon pada tahun 1888. Tjakradiningrat kawin antara lain dengan Nyi Raden Ajeng Encoh (Patih Bintang Rangkasbitung) berputera antara lain Nyi Mas Siti Asyah Amiruddin, Nong Tris dan lain-lainnya.

Perjalanan sejarah keturunan Pangeran Astapati, ternyata memang membentuk benang lurus, melahirkan/menurunkan atau pun menikah dengan para tokoh, pejabat dan cendikiawan. Penafsiran ini, tentu saja dicoba untuk dihilangkan subyektivitas kesejarahan, antara lain yang dapat dimunculkan akibat adanya aspek nasionalisme/nasionalitas.

Penokohan di sini, tak lain dikaitkan semata-mata terhadap prestasi puncak yang dapat dicapai oleh anggota "pohon keturunan" ini, yang banyak di antaranya didukung oleh dokumen-dokumen otentik-adminis-tratif.
Sementara itu, dari autobiografi P.A.A. Djajadiningrat (1936), dapat diurutkan asal muasal Pangeran Astapati beserta keturunannya, yang dikutip berikut ini.
"Batara Toenggal ada berpoetera enam orang laki-laki. jang soeloeng Batara Tjikal, wafat dengan tidak berpoetera. Sekarang ia memerintah doenia bersama-sama ayahnja. Poeteranja jang kedoea Batara Pantandjala, semata-mata memerintah bangsa Kanekes (Badoey) dan poeteranja yang bertiga lagi berkoeasa di Salawe Nagara (doea poeloeh lima negeri). Batara Patandjala berpoetera beberapa orang laki-laki, jang moeda sekali bernama Batara Boengsoe. Dari Batara Boengsoe inilah asalnja poe'oen-poe'oen Cibeo."

"Kira-kira pada waktoe Soeltan Ageng Tirtajasa memerintah di Banten, maka salah seorang Poe'oen Tjibeo itu ada beranak seorang laki-laki bernama Raden Wirasoeta. Ada poen Raden Wirasoeta ini tidak senang diam dalam masjarakat bangsa Badoej itoe, karena masjarakat itu terlaloe sempit terasa padanja. Oleh karena itoe dimintanjalah dengan sangat kepada Bapaknja, soepaja ia diberi idjin akan menghambakan diri kepada Soeltan Banten. Bapaknja tidak berkeberatan dan Raden Wirasoeta diberinja nasihat akan menghiliri Soengai djoeng: kelak akan sampai ke Keraton Bantam."

"Hanja dengan sebilah keris bernama "Kebo Gandar" sadja (jaitoe jang masih ada pada saja), toeroenlah Wirasoeta dari kampoengnja, berdjalan menghiliri Soengai Tjioedjoeng. Achirnja sampailah ke Tirtajasa, tempat Soeltan bersemajam pada waktoe itoe."

"Tidak lama antaranja ia poen diterima menjadi hamba di Keraton, moela-moela mendjadi hamba biasa (panakawan) tapi kemoedian mendjadi pradjoerit."

Dari autobiografi Djajadiningrat tersebut di atas, juga disebutkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa kerapkali berperang. Di dalam peperangan itu, Wirasuta menampakkan kecakapannya, dan untuk itu kemudian ia diangkat menjadi pangeran dan dinikahkan dengan salah seorang anak dari Sultan Ageng Tirtayasa.

Djajadiningrat selanjutnya menulis bahwa pada akhirnya Pangeran Wirasuta diangkat menjadi Patih (Perdana Menteri). Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Dikatakan bahwa luka yang diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut. Karena itu setelah ia meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati).

Hal penting dalam kajian dan rekonstruksi genealogi Pangeran Astapati ini, antara lain:
1.    tercampurnya trah Baduy dan Minangkabau pada ayah Ego dalam hal ini M. Santosa, sebagai salah satu anak dari perkawinan M. Padmadiwiria/Patih Bintang (keturunan Minangkabau) dan R.A. Fatmah yang memiliki keturunan/darah Baduy.
2.    semakin jelasnya pola-pola perkawinan antar bangsawan atau antar pejabat di masa lalu, sehingga pada setiap generasi senantiasa ada yang tampak memegang jabatan-jabatan tinggi/prestisius di daerah.
3.    baik dari keturunan pihak ayah maupun ibu M. Santosa (ayah Ego), beberapa kali memunculkan anggota generasi yang pernah menjadi pimpinan perang atau paling tidak memperlihatkan kekokohannya dalam melawan kolonialisme.

Seperti telah berulangkali disebutkan, penyusunan genealogi keluarga ini, sama sekali tidak memiliki pretensi untuk melebihkan atau membesar-besarkan peran dan ketokohan sejarah dari anggota-anggota generasi dalam pohon genealogi tersebut. Namun berbagai bukti ternyata memang menunjukkan bahwa dalam genealogi tersebut, terdapat dan tertanam benih-benih serta semangat anti penjajah. Sampai saat terakhir penulisan, belum dapat diamati korelasi antara sikap Banten dan Pagaruyung yang memang dikenal sangat anti Belanda, terhadap sikap serta wawasan anggota-anggota generasi dalam genealogi dimaksud.

Genealogi tersebut, sekaligus sepertinya membenarkan adanya premis yang berlaku dalam baik masyarakat Sunda maupun Jawa, yakni berlakunya bibit, bebet dan bobot dalam memelihara keturunan/keluarga.
Risalah penelusuran genealogi ini, sama sekali bukan ditujukan untuk menulis babakan/penggalan sejarah dalam sejarah Banten. Risalah ini hanyalah memiliki lingkup documenta historica bagi Pangeran Astapati dan keturunannya, baik ke atas maupun ke bawah.

Penelusuran yang memperlihatkan kecenderungan konglomerasi anggota-anggota genealogi yang mengarah pada kecenderungan mema-sukkan anggota birokrasi ke dalam pohon keluarga. Baik pada masa pra kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan.

Birokrasi kolonial maupun birokrasi republik, pada dasarnya dibentuk dengan harapan memperlancar kegiatan-kegiatan yang harus di-selenggarakan dan dikembangkan dalam usaha mencapai tujuan "organisasi" se-rasional mungkin. Pengaturan struktur birokrasi dan peranan-peranan para anggota birokrasi, yang dengan sengaja diangkat untuk menangani ekses-ekses, mengelola dan mengakomodasikan konflik dan partisipasi, serta mengelola administrasi pada setiap kegiatan organisasi.

Risalah ini sejak semula tidak diarahkan untuk "memberi warna hitam-putih" terhadap para tokoh yang disebutkan dalam genealogi. Meski pun risalah ini bukan dimaksudkan untuk penulisan sejarah, tetapi penulisannya itu sendiri didasarkan pada bukti/dokumen/ sumber sejarah. Dan jika saja ada percabangan ke samping dan kemudian ke atas atau ke bawah di luar garis hubung pokok (main linkage) yang tidak dipaparkan dalam verbal, berdasarkan bukti yang ada, kekurangan tersebut terdapat dalam lampiran-lampiran.

Risalah ini sungguh ditujukan bagi kepentingan paguyuban keluarga Pangeran Astapati beserta keturunan-keturunannya, dan sungguh jauh dari pretensi eksklusivisme, yang jelas-jelas bertentangan secara diametral terhadap cita-cita dan semangat proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.

Risalah ini, penulisannya ditujukan untuk merunut pohon keluarga sebagai dan dalam rangka menguatkan salah satu sendi kesadaran jatidiri yang berawal dari masa lalu, eksis di masa kini dan senantiasa memiliki perspektif masa depan. Seperti dipaparkan semula, risalah ini juga menjauhi konglomerasi anggota keturunan ke dalam kategorisasi sebagai pahlawan atau bukan pahlawan.

Apabila dalam runutan tersebut memang terdapat suri keteladanan, kepahlawanan, kecendiakawanan, maupun kepiawaian dalam ketata-prajaan, maka semoga hal tersebut justru jadi pendorong, stimulasi dan motivasi untuk senantiasa meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada generasi penerus yang bertanggungjawab pada masa depan negara, bangsa, agama, dan keluarga. Semoga.

1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

KIDUNG DARMAWEDHA

Dandhanggula

  1. Ana Pandhita akarya wangsit, mindha kombang angajap ing tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, wekasane langit jaladri, isine wuluh wungwang, lan gigiring punglu, tapaking kuntul anglayang, manuk miber uluking ngungkuli langit, kusuma njrah ing tawang.
  2. Ngambil banyu apikulan warih, amek geni asami adadamar, kodhok ngemuli elenge, miwah kang banyu den kum, kang dahana murub kabesmi, bumi pinetak ingkang, pawana katiyub, tanggal pisan kapurnaman, yen anenun sonteg pisan anigasi, kuda ngrap ing pandengan.
  3. Ana kayu apurwa sawiji, wit buwana epang kiblat papat, agedhong mega tumembe apradapa kukuwung, kembang lintang, sagara langit, sami andaru kilat, woh surya lan tengsu, asirat bun lawan udan, apupuncak akasa bungkah pratiwi, oyode bayu bajra.
  4. Wiwitane duk anemu candhi, gogodhongan miwah wawarangkan, sihing Hyang kabesmi kabeh, tan ana janma kang wruh, yen weuha purwane dadi, candhi segara wetan, ingobar karuhun, kahyangane Sang Hyang Tunggal, sapa reke kang jumeneng mung hartati, katon tengahing tawang.
  5. Gunung agung sagara sarandil, langit ingkang amengku bawana, kawruhana ing artine, gunung sagara umung, guntur sirna amengku bumi, rug kang langit buwana, dadya weruh iku, mudya madyaning ngawiyat, mangasrama ing gunung agung sabumi, candhi – candhi sagara.
  6. Gunung luhure kagiri – giri, sagara agung datanpa sama, pan sampun kawruhan reke, artadaya puniku, datan kena cinakreng budi, anging kang sampun prapta, ing kuwasanipun, angadeg tengahing jagad, wetan kulon lor kidul ngadhap myang nginggil, kapurba kawisesa.
  7. Bumi sagara gunung myang kali, saguning kang isining bawana, kasor ing artadayane, sagara sat kang gunung, guntur sirna guwa samya nir, singa wruh artadaya, dadya teguh timbul, lan dadi paliyasing prang, yen lulungan kapapag wedi asih, sato galak suminggah.
  8. Jim peri prayangan samya wedi, mendhak asih sakehing drubiksa, rumeksa siyang dalune, singa anempuh lumpuh, tan tumama ing awak mami, kang nedya tan raharja. Kabeh pan linebur, sakehe kang nedya ala, larut sirna kang nedya becik basuki, kang sinedya waluya.
  9. Siyang ndalu rineksa Hyang Widi, dinulur saking karseng Hyang Suksma, kaidhep ing jalma kabeh, apan wikuning wiku, wikan liring pujasamadi, dadi sasedyanira, mangunah linuhung, paparab hyang tegalana, kang asimpen yen tuwajuh jroning ati, kalis ing pancabaya.
  10. Yen kinarya atunggu wong sakit, ejim setan datan wani ngambah, rineksa malaekate, nabi wali angepung, sakeh lara samya sumingkir, ingkang nedya mitenah, maring awak ingsun, rinusak dening Pangeran, eblis lanat sato mara padha mati, tumpes tapis sadaya.

1      2       3       4        5        6       7        8        9        10...

Saturday, February 9, 2013

Kerajaan Medang

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Nama
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
Pusat Kerajaan Medang
Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.
Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain, 
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya) 
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan) 
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung) 
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) 
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok) 
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok) 
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) 
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
Dinasti yang berkuasa
Bukti terawal sistem mata uang di Jawa. Emas atau keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Daftar raja-raja Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:
Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung. 
Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang 
Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra 
Rakai Panunggalan alias Dharanindra 
Rakai Warak alias Samaragrawira 
Rakai Garung alias Samaratungga 
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya 
Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala 
Rakai Watuhumalang 
Rakai Watukura Dyah Balitung 
Mpu Daksa 
Rakai Layang Dyah Tulodong 
Rakai Sumba Dyah Wawa 
Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur 
Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya 
Makuthawangsawardhana 
Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir 
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.

Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
Keadaan penduduk
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.

Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.

Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Syailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Peristiwa Mahapralaya

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Peninggalan sejarah
(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Kepustakaan 
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka 
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu 
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS 
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara 
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS 

1      2       3       4        5        6       7        8        9        10...