Search

Thursday, July 24, 2014

Nyi Pohaci Sanghyang Asri

Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
2.2. Sinopsis
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat Sunda yang menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
- Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
- Kasepuhan Banten Kidul, Desa Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten Sukabumi
- Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor
- Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten
- Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya
Upacara Seren taun merupakan upacara masyarakat agararis adalah penyerahan hasil panen yang diterima pada tahun yang akan berlalu serta salah satu media dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang telah diterima seiring dengan harapan agar dimasa yang akan datang, hasil panen seluruh anggota masyarakat dapat lebih melimpah lagi. Penyelenggaraan dimulai dengan upacara ngajayuk (menyambut) pada tanggal 18 Rayagung, kemudian dilanjutkan pada tanggal 22 Rayagung dengan upacara pembukaan padi sebagai puncak acara, dengan disertai beberapa kesenian tradisional masyarakat agraris sunda tempo dulu, seperti ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending karesmen, tari bedaya, upacara adat ngareremokeun dari masyarakat kanenes baduy, goong renteng, tari buyung, angkulung buncis doodog lonjor, reog, kacapi suling dan lain-lain yang mempunyai makna dan arti tersendiri, khususnya bagi masyarakat sunda.
2.3. Durasi
Kegiatan adat ini biasanya berlangsung selama 7 hari, rangkaian acaranya adalah sebagai berikut:
Hari ke 1, Neutepkeun
Neutepken ini dimaksud adalah memanjatkan niat agar acara Seren Taun berjalan lancar serta memohon agar kebutuhan pangan selama acara terpenuhi tanpa ada kekurangan. Upacara ritual ini dipimpin oleh Sang Rama dan Kokolot Panggiwa yang dilaksanakan di tempat pabeasan (tempat menyimpan beras) di Imah Gede. Di Pabeasan inilah dikumpulkan semua bahan-bahan makanan yang akan dimasak mulai dari bumbu dapur, sayur mayur, minuman, serta kue-kue yang akan dimakan sepanjang acara seren Taun berlangsung
Hari ke 2, Ngembang
Ngembang / nyekar/ ziarah dipimpin oleh Kokolot Panggiwa dan Panengen dilakukan ke makam sebagai leluhur warga Sindangbarang yaitu Sang Prabu Langlangbuana, Prabu Prenggong Jayadikusumah di Gunung Salak
Hari ke 3, Sawer Sudat dan Ngalage
Sunatan massal, yaitu upacara sudat (sunat) bagi anak-anak di kampung Sindang Barang, dengan berpakaian adat lengkap serta duduk di atas tandu (jampana) Acara ini dilaksanakan di alun-alun. Sebelum acara di mulai dilakukan doa yang dipimpin oleh Sang Rama untuk memberi restu terhadap perwakilan orang tua peserta sunatan massal agar acara berlangsung lancar, selamat dan mendoakan agar anak-anak yang di sudat menjadi anak yang berbakti pada orangtua, agama dan bangsa, setelah acara doa selesai anak-anak peserta sudat yang menaiki jampana di arak dan di sawer dengan kunyit, beras merah, dan panglay sambil diiringi oleh tatabuhan musik tradisional seperti reog, calung, kendang pencak dan terompet. Seusai arak-arakan anak-anak berkumpul di bale Pangriungan sambil dihibur oleh para orang tua
Hari ke 4, Sebret Kasep
Pelaksanaan sudat (sunat) di Bale Pangriungan.
Hari ke 5, Ngukuluan
Ngukuluan ini adalah mengambil air dari tujuh sumber mata air, bermula dari Imah kolot. Dilepas oleh Sang Rama kepada para kokolot dan parawari (panitia). Perjalanan mengambil air dari sumber mata air ini diiringi dengan kesenian tradisional Angklung Gubrag. Malam harinya dengan dipimpin oleh Kokolot Panggiwa air tersebut dibacakan doa-doa tolak bala
Hari ke 6, Sedekah kue, Helaran, Nugel Munding, Sedekah daging, Pertunjukan seni
Acara hari ke enam dilaksanakan pagi hari di alun-alun, diawali dengan parawari (panitia) mempersiapkan sebanyak 40 tampah yang berisi aneka kue, upacara dipimpin oleh kokolot, diawali dengan meriwayatkan sejarah leluhur Sindangbarang. Serta membacakan doa buat para leluhur . Setelah itu barulah kokolot dan para warga memperebutkan sedekah kue, dilanjutkan menuju lapangan inpres untuk memotong kerbau, sepanjang berjalanan ke lapangan inpres digelar pula helaran/pawai kesenian yang terdiri dari angklung gubrag, tujuh orang mojang, pembawa pohon hanjuang, jampana berisi air kukulu, pembawa tebu hitam, pembawa jampana daging, pembawa pohon hanjuang , para kokolot, kesenian reog, calung, kendang pencak .
Di lapangan inpres Kokolot melakukan serah terima (seren-sumeren) kepada Sang Rama untuk memimpin pelaksanakan pemotongan kerbau yang diselingi dengan bunyi lisung dan terompet, daging kerbau yang dipotong kemudian di taruh dalam 40 nyiru (tampah), setelah dilakukan doa maka daing inipun disedekahkan utnuk masyarakat
Saat malam harinya diadakan hiburan bagi masyarakat dilaksanakan di alun-alun kajeroan dan di lapangan inpres dengan menampilan kesenian tradisonal jaipong, ketuk tilu, ngagondang, angklung gubrag, kendang pencak, parebut seeng, reog,dan calung
Hari ke 7, Helaran dongdang, Majiekeun Pare, Pintonan kesenian
Persiapan oleh masayarakat sudah diawali sejak subuh, karena pagi harinya sebanyak 54 RT di kampung Sindangbarang sudah berkumpul di depan masjid Sindangbarang dengan membawa dongdang (hasil bumi) yang dihias aneka bentuk. Pawai dongdang ini dilengkapi oleh barisan pembawa Rengkong (padi) hasil panen, para kokolot, rombongan kesenian, dll. Jam 08.00 WIB rombongan bergerak menuju kampung budaya Sindangbarang untuk melaksanakan Upacara puncak yaitu Majiekeun Pare ayah dan ambu ke dalam lumbung Ratna Inten. sementara di lapangan Sang Rama sudah menunggu untuk memasukan Pare Ayah dan Ambu. Setelah memasukan padi, kemudian dongdang (hasil bumi) dibawa ke depan sang Rama untuk didoakan , setelah diberi doa maka warga akan berebut hasil bumi tersebut. Pertunjukan tarian dipersembahkan oeh muda-mudi Sindangbarang dengan diiringi gamelan. Ditampilkan pula pertunjukan gondang, reog, angklung gubrag, kendang penca dan ditutup oleh rampag parebut seeng. Malam harinya di alun-alun kajeroan pagelaran wayang golek semalam suntuk digelar.
Inti pada acaranya berlangsung sekitar 30 menit – 5 jam lamanya. Untuk yang lainnya hanya sebagai pendamping saja, tetapi tidak kalah pentingnya.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Gawai Dayak dan Sejarah Perkembangannya

Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur, salah satunya adalah dengan menggelar serangkaian upacara adat. Gawai Dayak adalah satu-satunya, upacara adat ini rutin digelar suku Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat dan telah berlangsung sejak puluhan tahun. Inti pelaksanaan upacara ini adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Jubata (Tuhan) atas panen yang melimpah, sekaligus memohon agar panen berikutnya diberi kelimpahan.

Gawai Dayak tradisional biasanya dilaksanakan selama tiga bulan oleh suku Dayak di Kalimantan, khususnya Dayak Iban dan Dayak Darat sebagai wujud syukur atas hasil panen. Ada sejumlah upacara yang harus dilakukan dalam Gawai Dayak. Upacara adat tersebut menjadi semacam rangkaian prosesi baku yang harus dilewati. Beragam makanan tradisional dan sejumlah sesaji pun tak lupa disiapkan sebagai salah satu unsur penting upacara.

Seiring perkembangan zaman dan isu kepentingan, kini upacara Gawai Dayak tradisional mengalami beberapa penyesuaian namun tetap mempertahankan unsur-unsur penting terutama urutan dan prosesi upacaranya itu sendiri. Bekerja sama dengan pemerintah daerah Gawai Dayak kini hanya digelar selama sepekan dan rutin dilaksanakan pada 20 Mei setiap tahunnya. Nama kegiatan bermuatan kepentingan budaya ini pun sekarang dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Pekan Gawai Dayak digagas berawal dari keinginan untuk saling memperkuat, mengenalkan tradisi Dayak, sekaligus sebagai ajang pelestarian tradisi leluhur. Gawai Dayak sendiri adalah upacara adat tradisional yang menjadi semacam media mempererat suku Dayak dan bagian penting dari pekan adat tersebut. Kesadaran tersebut bermula pada tahun 1986 ditandai dengan terbentuknya Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda). Sekberkesda bertugas menggelar dan mengonsep seni budaya Dayak yang kemudian menggagas pekan seni budaya yang kini dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Sejak tahun 1986, Pekan Gawai Dayak telah dilaksanakan secara terorganisir dan mendapat pendanaan dari pemerintah daerah. Disebutkan bahwa Pekan Gawai Dayak bermuatan politis karena tidak murni tradisional melainkan mengandung kepentingan pengembangan pariwisata dan bahkan kepentingan yang bersifat politis. Akan tetapi, terlepas dari itu, Pekan Gawai Dayak terbukti telah memberi dampak positif bagi pelestarian sekaligus pengembangan budaya Dayak di Kalimantan Barat. Ia menjadi semacam pemantik kecintaan terhadap budaya lokal suku Dayak yang kemudian mendorong usaha pelestarian dan promosi wisata. Pekan Gawai Dayak tentunya berpotensi sebagai kegiatan yang dari segi ekonomi akan pula memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan daerah.
Terlepas dari berbagai isu kepentingan politis, Pekan Gawai Dayak juga mendapat dukungan dari masyarakat budaya Dayak karena bagaimanapun kegiatan tersebut memiliki kepentingan pelestarian budaya lokal. Sekberkesda sendiri mendapat dukungan dari sekira 23 sanggar yang merupakan representasi kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak, Kalimantan Barat.


Prosesi Gawai Dayak Tradisional dan Pekan Gawai Dayak
Gawai Dayak tradisional adalah pelaksanaan upacara pasca panen yang meliputi serangkaian upacara adat sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas kelimpahan hasil panen. Gawai Dayak tradisional pelaksanaannya dapat memakan waktu hingga tiga bulan, yaitu biasanya pada Bulan April sampai Juni. Pelaku upacara adat akan mengenakan pakaian tradisional berikut perhiasan tradisional seperti manik orang ulu dan kerajinan perak tradisional.

Dalam upacara Gawai Dayak, terlebih dahulu akan diadakan ngampar bide atau menggelar tikar. Upacara ini hanya dan khusus digelar menjelang pelaksanaan upacara Gawai Dayak yang biasanya berlangsung di rumah Betang Panjang, rumah adat di Kalimantan Barat. Tujuannya adalah memohon kelancaran dan kemudahan selama pelaksanaan upacara Gawai Dayak. Dalam ngampar bide sendiri terdapat serangkaian tahapan pelaksanaan, yaitu nyangahathn manta’ (pelantunan doa/mantra) sebelum seluruh kelengkapan upacara disiapkan dan ngadap buis, yakni tahapan penyerahan sesaji (buis) kepada Jubata (Tuhan).

Nyangahatn manta’ terbagi menjadi tiga bagian, yaitu matik (semacam upacara pemberitahuan kepada kepada awa pama atau roh leluhur dan Jubata (Tuhan) tentang akan diadakannya upacara tersebut; ngalantekatn (memohon keselamatan bagi semua pihak pelaksanan upacara); dan mibis (semacam upacara pemurnian agar kotoran musnah). Dalam upacara nyangahatn manta, sesuai namanya, sesaji yang disiapkan biasanya adalah bahan yang belum masak atau mentah (manta).

Upacara selanjutnya disebut ngadap buis (nyangahatn masak); merupakan upacara adat puncak dari keseluruhan proses ngampar bide dimana seluruh peraga adat sudah tersedia. Pada tahapan ini, sesaji (buis) yang berupa makanan masak dipersembahkan kepada awa pama dan Jubata, sebagai wujud rasa syukur sekaligus permohonan berkat.

Ngampar bide dihadiri para tokoh Dayak yang berperan dalam menyiapkan Gawai. Mereka membahas persiapan, menyiapkan, dan tentunya melaksanakan acara inti, yaitu memohon perlindungan Jubata atas kelancaran upacara. Pada upacara penutupan akan digelar gulung bide (gulung tikar) yang menandai berakhirnya upacara.

Pekan Gawai Dayak (Gawai Dayak modern) masih melaksanakan serangkaian upacara tersebut di atas tetapi tidak memakan waktu berbulan-bulan. Sesuai namanya, upacara ini hanya dilaksanakan dalam waktu sepekan, setiap 20 Mei sebagaimana diarahkan oleh Gubernur Kalimantan Barat terdahulu, Kadarusno. Pekan adat ini tidak hanya diramaikan oleh kegiatan upacara tetapi juga beragam kegiatan seni yang melibatkan banyak kalangan masyarakat di Kalimantan.

Seminar budaya, pementasan tari tradisional yang biasanya menandai dimulainya Pekan Gawai Dayak akan pula mewarnai acara tersebut. Ada pula beragam atraksi budaya khas Dayak, termasuk ditampilkannya beberapa permainan tradisional. Ada juga beragam stand sebagai tempat menyuguhkan aneka budaya dan produk budaya khas Dayak, seperti kerajinan tangan, produk seni, dan makanan khas tradisional Dayak. Bahkan, ada pula sejumlah perlombaan yang berlangsung selama Pekan Gawai Dayak, misalnya lomba memasak masakan tradisional, dan acara menarik lain.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......