(Candi Simbatan, Ds. Simbatan, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan)
Situs Pertirtaan Dewi Sri secara keseluruhan merupakan suatu bangunan
pertirtaan. Hal ini nampak jelas dengan adanya bangunan kolam dan
pancuran-pancuran yang ada di bagian-bagian tertentu. Petirtaan Dewi Sri
merupakan bangunan kolam yang terletak di bawah permukaan tanah yang
sebagian besar komponennya tersusun dari bata. Oleh karena itu, apabila
hendak mencapai lantai dasar pertirtaan harus menuruni tangga yang
berada di sisi timur.
Pada dinding barat bilik utama terdapat
arca pancuran wanita dari bahan batu adesit. Arca wanita inilah yang
kemudian oleh masyarakat dianggap sebagai arca Dewi Sri. Di Jawa ada
keyakinan bahwa Dewi Sri dianggap sebagai dewi kesuburan dan dihubungkan
dengan pertanian. Di pulau Jawa dan Bali Dewi Shri atau Dewi Sri
dikenal sebagai dewi bercocok tanam, terutama padi dan sawah, la
merupakan representasi dari dunia bawah tanah dan juga bulan, la
mengontrol bahan makanan di bumi dan kematian. Oleh karena ia merupakan
simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan.
Mengenai Dewi Sri, menurut cerita legenda bercorak Hindu Jawa yang
berkembang di Indonesia diceritakan bahwa Dewi Sri merupakan istri
Bathara Guru. Pada suatu masa, Dewi Sri dikejar-kejar oleh dewa bawahan
Bathara Guru karena terpesona akan kecantikannya. Karena kesal, dewa
bawahan itu pun kemudian dikutuk oleh Dewi Sri menjadi babi hutan. Namun
walaupun telah berubah menjadi babi hutan, dewa bawahan tersebut terus
mengejar Dewi Sri. Selanjutnya Dewi Sri pun memohon agar ia berubah
menjadi tanaman agar tidak dikejar-kejar babi hutan itu lagi, dan
kemudian ia menjelma menjadi tanaman padi di sawah. Namun demikian,
ternyata babi hutan tersebut terus mengejar Dewi Sri dengan menjadi hama
bagi tanaman padi.
Arca wanita yang terdapat di Pertirtaan Dewi
Sri yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai Dewi Sri tersebut
memakai mahkota yang bentuknya bertingkat mengecil ke atas, dan
berhiaskan simbar/antefik. Arca tersebut memiliki prabha dan stela.
Rambut arca digambarkan berombak panjang sampai bahu. Pada lehernya
terdapat 3 lapis hara, salah satunya bermotif sulur-suluran. Arca
tersebut bertangan dua dengan posisi tangan sedang memegang payudara
yang berfungsi sebagai pancuran. Air pancuran ini dialirkan dari
belakang stela. Air yang keluar dari payudara dapat diidentikkan dengan
air susu. Dalam mitologi agama Hindu/Budha, air susu dianggap
melenyapkan mala. Kedua lengan arca memakai gelang polos masing-masing 2
buah dan kelat bahu masing-masing dua buah berhias sulur-suluran. Kain
digambarkan hingga ke mata kaki. Di kiri kanan pinggang terdapat uncal
dan drapery di perut dan kiri kanan kaki. Gelang kaki digambarkan
berbentuk sulur-suluran. Arca berdiri di atas padma ganda yang menempel
pada stela. Di kiri kanan kaki arca terdapat hiasan padma sederhana yang
seolah-olah keluar dari padma ganda.
Berdasarkan pengamatan,
arca ini kemungkinan diidentifikasi sebagai Dewi Laksmi, yang merupakan
salah satu perwujudan Durga yang biasanya ditempatkan pada petirtaan.
Nama lain Laksmi adalah Padmasambhawa (yang lahir dari teratai mekar)
atau padmesthita (yang berdiri di atas padma) (Zimmer, 1962: 91). Padma
itu sendiri merupakan lambang kelahiran (Santiko, 1985: 292).
Dewi Laksmi sendiri merupakan sakti (istri) dari Dewa Wisnu. Biasanya,
Dewa Wisnu digambarkan bersama dua saktinya yaitu Dewi Sri dan Dewi
Laksmi. Menurut konsep, Laksmi adalah istri tertua dari Dewa Wisnu.
Walaupun demikian, sangat susah dimengerti mengapa Arca Sri dan Arca
Laksmi dibedakan karena sebenarnya mereka adalah satu (sama) dalam
penggambarannya. Sakti-sakti Wisnu tersebut biasanya ditemui bersama
Wisnu. Namun tidak jarang juga kita hanya menemui sakti tersebut saja.
Bila demikian, maka kita dapat menyebut arca tersebut sebagai Arca
Laksmi atau Arca Sri. (Gupte, hal.56).
Penggambaran Laksmi yang
ditemui secara individual menurut konsep ikonografi India adalah bila
arca tersebut bertangan empat maka ia memegang atribut cakra, sangkha
bersayap, teratai dan cemara. Bila arca tersebut bertangan dua maka ia
digambarkan sedang memegang sangkha bersayap dan lotus yang ditemani
oleh Vidyadharas di kedua sisi. (Gupte, hal. 56). Namun berbeda dengan
gaya ikonografi India, Arca Laksmi di Indonesia digambarkan dalam posisi
tangan memegang payudara. Selain di Pertirtaan Dewi Sri, konsep Dewi
Laksmi dalam sebuah pertirtaan, dapat di temui juga seperti di
Pertirtaan Belahan, Mojokerto. Arca Laksmi tersebut digambarkan dengan
posisi berdiri dan kedua tangan memegang payudara yang mengeluarkan air.
Arca Laksmi ini diapit oleh dua buah jaladwara yang berbentuk padma di
sebelah kanan dan kirinya. Di atas Arca Dewi Laksmi terdapat relief kala
yang distilir berbentuk sulur-suluran. Gaya penggambaran kala ini
adalah merupakan gaya khas kala dari masa Jawa Timur.
Di samping
itu, masih terdapat dua buah kala lagi yang sudah lepas dari tempat
aslinya. Saat ini kedua kala tersebut berada di depan pintu masuk bilik
utama dan pada dinding utara bilik utara. Kala yang berada di dinding
utara bilik utara mempunyai spesifikasi. Wajah kala digambarkan ramah
(santa), bukan menyeramkan (ugra). Mempunyai rahang bawah. Kedua
tangannya digambarkan lengkap dilipat ke depan seolah-olah dalam posisi
tengkurap dengan kesepuluh jari di bawah dagu. Namun secara keseluruhan,
bentuk rahang lengkap dan kesepuluh jari bebas dalam arti tidak
mengenggam sesuatu. Tipe gaya kala seperti ini sangat menarik karena
sangat jarang ditemukan di Indonesia. Satu-satunya yang sedikit banyak
mendekati gaya penggambaran kala Pertirtaan Dewi Sri adalah bentuk kala
pada Candi Singosari Di Malang, Jawa Timur.
Pada bagian teras,
terdapat masing-masing 2 buah jaladwara yang digambarkan dengan bentuk
tubuh arca laki-laki dan perempuan dalam posisi duduk bersimpuh mengapit
pancuran yang menempel pada dinding sisi utara dan selatan.
Kepala-kepala arca tersebut dengan alasan demi keamanan pada sekitar
tahun 1994 dibawa ke kantor Balai Pelestarian Peninggalan Jawa Timur di
Mojokerto karena daerah tersebut rawan pencurian. Arca-arca tersebut
secara ikonografis penggambarannya sangat indah dan sempurna. Bahu
digambarkan sangat sempurna, garis-garisnya tegas dan tepat. Gaya Arca
Jaladwara ini sangat mirip dengan Arca Jaladwara yang ada di Pertirtaan
Belahan. Pada sisi barat di kedua bilik terdapat jaladwara berbentuk
makara dengan relief wanita, masing-masing bilik memiliki dua buah
jaladwara. Relief wanita yang digambarkan dalam masing-masing jaladwara
tersebut memiliki gaya berdiri yang berbeda-beda. Hiasan rambut dan
alur-alur rambut yang sangat jelas pada relief wanita tersebut sangat
bagus. Gaya relief pada jaladwara di Pertirtaan Dewi Sri ini memiliki
kesamaan gaya dengan bentuk hiasan dan gaya pada relief di Pertirtaan
Jolotundo, Mojokerto.
Sampai di sini, dari tinggalan arkeologis
yang ditemui di pertirtaan Dewi Sri, tampak bahwa beberapa komponen
pertirtaan ini memiliki persamaan dengan tinggalan arkeologis yang ada
di Pertirtaan Belahan dan Pertirtaan Jolotundo, Mojokerto. Dengan
demikian, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa
pertirtaan-pertirtaan ini kemungkinan besar memiliki keterkaitan dan
dibangun dalam satu masa. Bila Candi Belahan dan Pertirtaan Jolotundo
dikaitkan dengan masa pemerintahan Dharmawangsa Tguh-Airlangga pada masa
abad XXI Masehi (Kinney 1997: 50-67). maka ada kemungkinan bahwa
pertirtaan Dewi Sri berasal dari masa yang sama. Adapun latar belakang
keagamaan ketiga tinggalan arkeologis tersebut pun sama-sama beraliran
Hindu Waisnawa.
Dugaaan latar belakang sejarah pertirtaan Dewi
Sri yang ditarik dari bukti-bukti arkeologisnya tersebut di atas dapat
juga didukung dari temuan data-data historis lain yang ditemukan di
sekitar wilayah Kabupaten Magetan. Seperti kita ketahui bersama, di
wilayah Kabupaten Magetan banyak ditemukan prasasti yang berasal dari
sekitar abad X Masehi. Prasasti-prasasti tersebut antara lain prasasti
Kawambang Kulwan dari Maospati yang sekarang disimpan di Museum
Nasional. Prasasti tersebut berasal dari tahun 913 Saka atau setara
dengan tahun 991 Masehi. Selain itu, di sekitar daerah ini ditemukan
juga prasasti lainnya, di antaranya seperti Prasasti Taji dari Maospati,
Prasasti Kledokan dari Maospati, Bulu Gledek dari Maospati, Prasasti
dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Parang. Sementara itu,
Hariani Santiko dalam penelitiannya di Simbatan menemukan miniatur rumah
dengan angka 905 dan 917 pada bagian atapnya. Temuan ini diasumsikan
oleh Hariani berangka tahun saka sehingga berasal dari 983 Masehi dan
995 Masehi (Santiko, 1985:296).
Sementara itu, masih ada beberapa
temuan arkeologis yang berupa miniatur rumah dari Simbatan dan
sekitarnya yang berasal dari sekitar abad X Masehi, baik yang masih in
situ maupun menjadi koleksi Museum Nasional (Haryosudibyo, 1998). Salah
satu miniatur rumah/lumbung padi tersebut pada bagian atapnya terdapat
angka 919, dan dibaliknya terdapat relief sangkha bersayap. Angka
tersebut dapat diasumsikan sebagai tahun 919 Syang setara dengan 997 M.
Terkait dengan latar belakang keagamaan pertirtaan Dewi Sri, sangkha
bersayap yang terdapat pada miniatur rumah tersebut dapat menguatkan
dugaan bahwa pertirtaan Dewi Sri beraliran Hindu Waisnawa. Hal tersebut
dikarenakan sangkha bersayap merupakan salah satu atribut Wisnu. Selain
itu, miniatur rumah/lumbung padi yang lain bertuliskan sri pala. Di
dalam mitologi agama Hindu, sri pala merupakan salah satu atribut yang
dipegang salah satu tangan Dewi Mahalaksmi.
(Wicaksono Dwi Nugroho, M.Hum dan Ririet Surjandari, M.Hum)
(Wicaksono Dwi Nugroho, M.Hum dan Ririet Surjandari, M.Hum)
No comments:
Post a Comment