Search

Thursday, July 24, 2014

Nyi Pohaci Sanghyang Asri

Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
2.2. Sinopsis
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat Sunda yang menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
- Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
- Kasepuhan Banten Kidul, Desa Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten Sukabumi
- Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor
- Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten
- Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya
Upacara Seren taun merupakan upacara masyarakat agararis adalah penyerahan hasil panen yang diterima pada tahun yang akan berlalu serta salah satu media dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang telah diterima seiring dengan harapan agar dimasa yang akan datang, hasil panen seluruh anggota masyarakat dapat lebih melimpah lagi. Penyelenggaraan dimulai dengan upacara ngajayuk (menyambut) pada tanggal 18 Rayagung, kemudian dilanjutkan pada tanggal 22 Rayagung dengan upacara pembukaan padi sebagai puncak acara, dengan disertai beberapa kesenian tradisional masyarakat agraris sunda tempo dulu, seperti ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending karesmen, tari bedaya, upacara adat ngareremokeun dari masyarakat kanenes baduy, goong renteng, tari buyung, angkulung buncis doodog lonjor, reog, kacapi suling dan lain-lain yang mempunyai makna dan arti tersendiri, khususnya bagi masyarakat sunda.
2.3. Durasi
Kegiatan adat ini biasanya berlangsung selama 7 hari, rangkaian acaranya adalah sebagai berikut:
Hari ke 1, Neutepkeun
Neutepken ini dimaksud adalah memanjatkan niat agar acara Seren Taun berjalan lancar serta memohon agar kebutuhan pangan selama acara terpenuhi tanpa ada kekurangan. Upacara ritual ini dipimpin oleh Sang Rama dan Kokolot Panggiwa yang dilaksanakan di tempat pabeasan (tempat menyimpan beras) di Imah Gede. Di Pabeasan inilah dikumpulkan semua bahan-bahan makanan yang akan dimasak mulai dari bumbu dapur, sayur mayur, minuman, serta kue-kue yang akan dimakan sepanjang acara seren Taun berlangsung
Hari ke 2, Ngembang
Ngembang / nyekar/ ziarah dipimpin oleh Kokolot Panggiwa dan Panengen dilakukan ke makam sebagai leluhur warga Sindangbarang yaitu Sang Prabu Langlangbuana, Prabu Prenggong Jayadikusumah di Gunung Salak
Hari ke 3, Sawer Sudat dan Ngalage
Sunatan massal, yaitu upacara sudat (sunat) bagi anak-anak di kampung Sindang Barang, dengan berpakaian adat lengkap serta duduk di atas tandu (jampana) Acara ini dilaksanakan di alun-alun. Sebelum acara di mulai dilakukan doa yang dipimpin oleh Sang Rama untuk memberi restu terhadap perwakilan orang tua peserta sunatan massal agar acara berlangsung lancar, selamat dan mendoakan agar anak-anak yang di sudat menjadi anak yang berbakti pada orangtua, agama dan bangsa, setelah acara doa selesai anak-anak peserta sudat yang menaiki jampana di arak dan di sawer dengan kunyit, beras merah, dan panglay sambil diiringi oleh tatabuhan musik tradisional seperti reog, calung, kendang pencak dan terompet. Seusai arak-arakan anak-anak berkumpul di bale Pangriungan sambil dihibur oleh para orang tua
Hari ke 4, Sebret Kasep
Pelaksanaan sudat (sunat) di Bale Pangriungan.
Hari ke 5, Ngukuluan
Ngukuluan ini adalah mengambil air dari tujuh sumber mata air, bermula dari Imah kolot. Dilepas oleh Sang Rama kepada para kokolot dan parawari (panitia). Perjalanan mengambil air dari sumber mata air ini diiringi dengan kesenian tradisional Angklung Gubrag. Malam harinya dengan dipimpin oleh Kokolot Panggiwa air tersebut dibacakan doa-doa tolak bala
Hari ke 6, Sedekah kue, Helaran, Nugel Munding, Sedekah daging, Pertunjukan seni
Acara hari ke enam dilaksanakan pagi hari di alun-alun, diawali dengan parawari (panitia) mempersiapkan sebanyak 40 tampah yang berisi aneka kue, upacara dipimpin oleh kokolot, diawali dengan meriwayatkan sejarah leluhur Sindangbarang. Serta membacakan doa buat para leluhur . Setelah itu barulah kokolot dan para warga memperebutkan sedekah kue, dilanjutkan menuju lapangan inpres untuk memotong kerbau, sepanjang berjalanan ke lapangan inpres digelar pula helaran/pawai kesenian yang terdiri dari angklung gubrag, tujuh orang mojang, pembawa pohon hanjuang, jampana berisi air kukulu, pembawa tebu hitam, pembawa jampana daging, pembawa pohon hanjuang , para kokolot, kesenian reog, calung, kendang pencak .
Di lapangan inpres Kokolot melakukan serah terima (seren-sumeren) kepada Sang Rama untuk memimpin pelaksanakan pemotongan kerbau yang diselingi dengan bunyi lisung dan terompet, daging kerbau yang dipotong kemudian di taruh dalam 40 nyiru (tampah), setelah dilakukan doa maka daing inipun disedekahkan utnuk masyarakat
Saat malam harinya diadakan hiburan bagi masyarakat dilaksanakan di alun-alun kajeroan dan di lapangan inpres dengan menampilan kesenian tradisonal jaipong, ketuk tilu, ngagondang, angklung gubrag, kendang pencak, parebut seeng, reog,dan calung
Hari ke 7, Helaran dongdang, Majiekeun Pare, Pintonan kesenian
Persiapan oleh masayarakat sudah diawali sejak subuh, karena pagi harinya sebanyak 54 RT di kampung Sindangbarang sudah berkumpul di depan masjid Sindangbarang dengan membawa dongdang (hasil bumi) yang dihias aneka bentuk. Pawai dongdang ini dilengkapi oleh barisan pembawa Rengkong (padi) hasil panen, para kokolot, rombongan kesenian, dll. Jam 08.00 WIB rombongan bergerak menuju kampung budaya Sindangbarang untuk melaksanakan Upacara puncak yaitu Majiekeun Pare ayah dan ambu ke dalam lumbung Ratna Inten. sementara di lapangan Sang Rama sudah menunggu untuk memasukan Pare Ayah dan Ambu. Setelah memasukan padi, kemudian dongdang (hasil bumi) dibawa ke depan sang Rama untuk didoakan , setelah diberi doa maka warga akan berebut hasil bumi tersebut. Pertunjukan tarian dipersembahkan oeh muda-mudi Sindangbarang dengan diiringi gamelan. Ditampilkan pula pertunjukan gondang, reog, angklung gubrag, kendang penca dan ditutup oleh rampag parebut seeng. Malam harinya di alun-alun kajeroan pagelaran wayang golek semalam suntuk digelar.
Inti pada acaranya berlangsung sekitar 30 menit – 5 jam lamanya. Untuk yang lainnya hanya sebagai pendamping saja, tetapi tidak kalah pentingnya.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Gawai Dayak dan Sejarah Perkembangannya

Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur, salah satunya adalah dengan menggelar serangkaian upacara adat. Gawai Dayak adalah satu-satunya, upacara adat ini rutin digelar suku Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat dan telah berlangsung sejak puluhan tahun. Inti pelaksanaan upacara ini adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Jubata (Tuhan) atas panen yang melimpah, sekaligus memohon agar panen berikutnya diberi kelimpahan.

Gawai Dayak tradisional biasanya dilaksanakan selama tiga bulan oleh suku Dayak di Kalimantan, khususnya Dayak Iban dan Dayak Darat sebagai wujud syukur atas hasil panen. Ada sejumlah upacara yang harus dilakukan dalam Gawai Dayak. Upacara adat tersebut menjadi semacam rangkaian prosesi baku yang harus dilewati. Beragam makanan tradisional dan sejumlah sesaji pun tak lupa disiapkan sebagai salah satu unsur penting upacara.

Seiring perkembangan zaman dan isu kepentingan, kini upacara Gawai Dayak tradisional mengalami beberapa penyesuaian namun tetap mempertahankan unsur-unsur penting terutama urutan dan prosesi upacaranya itu sendiri. Bekerja sama dengan pemerintah daerah Gawai Dayak kini hanya digelar selama sepekan dan rutin dilaksanakan pada 20 Mei setiap tahunnya. Nama kegiatan bermuatan kepentingan budaya ini pun sekarang dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Pekan Gawai Dayak digagas berawal dari keinginan untuk saling memperkuat, mengenalkan tradisi Dayak, sekaligus sebagai ajang pelestarian tradisi leluhur. Gawai Dayak sendiri adalah upacara adat tradisional yang menjadi semacam media mempererat suku Dayak dan bagian penting dari pekan adat tersebut. Kesadaran tersebut bermula pada tahun 1986 ditandai dengan terbentuknya Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda). Sekberkesda bertugas menggelar dan mengonsep seni budaya Dayak yang kemudian menggagas pekan seni budaya yang kini dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Sejak tahun 1986, Pekan Gawai Dayak telah dilaksanakan secara terorganisir dan mendapat pendanaan dari pemerintah daerah. Disebutkan bahwa Pekan Gawai Dayak bermuatan politis karena tidak murni tradisional melainkan mengandung kepentingan pengembangan pariwisata dan bahkan kepentingan yang bersifat politis. Akan tetapi, terlepas dari itu, Pekan Gawai Dayak terbukti telah memberi dampak positif bagi pelestarian sekaligus pengembangan budaya Dayak di Kalimantan Barat. Ia menjadi semacam pemantik kecintaan terhadap budaya lokal suku Dayak yang kemudian mendorong usaha pelestarian dan promosi wisata. Pekan Gawai Dayak tentunya berpotensi sebagai kegiatan yang dari segi ekonomi akan pula memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan daerah.
Terlepas dari berbagai isu kepentingan politis, Pekan Gawai Dayak juga mendapat dukungan dari masyarakat budaya Dayak karena bagaimanapun kegiatan tersebut memiliki kepentingan pelestarian budaya lokal. Sekberkesda sendiri mendapat dukungan dari sekira 23 sanggar yang merupakan representasi kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak, Kalimantan Barat.


Prosesi Gawai Dayak Tradisional dan Pekan Gawai Dayak
Gawai Dayak tradisional adalah pelaksanaan upacara pasca panen yang meliputi serangkaian upacara adat sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas kelimpahan hasil panen. Gawai Dayak tradisional pelaksanaannya dapat memakan waktu hingga tiga bulan, yaitu biasanya pada Bulan April sampai Juni. Pelaku upacara adat akan mengenakan pakaian tradisional berikut perhiasan tradisional seperti manik orang ulu dan kerajinan perak tradisional.

Dalam upacara Gawai Dayak, terlebih dahulu akan diadakan ngampar bide atau menggelar tikar. Upacara ini hanya dan khusus digelar menjelang pelaksanaan upacara Gawai Dayak yang biasanya berlangsung di rumah Betang Panjang, rumah adat di Kalimantan Barat. Tujuannya adalah memohon kelancaran dan kemudahan selama pelaksanaan upacara Gawai Dayak. Dalam ngampar bide sendiri terdapat serangkaian tahapan pelaksanaan, yaitu nyangahathn manta’ (pelantunan doa/mantra) sebelum seluruh kelengkapan upacara disiapkan dan ngadap buis, yakni tahapan penyerahan sesaji (buis) kepada Jubata (Tuhan).

Nyangahatn manta’ terbagi menjadi tiga bagian, yaitu matik (semacam upacara pemberitahuan kepada kepada awa pama atau roh leluhur dan Jubata (Tuhan) tentang akan diadakannya upacara tersebut; ngalantekatn (memohon keselamatan bagi semua pihak pelaksanan upacara); dan mibis (semacam upacara pemurnian agar kotoran musnah). Dalam upacara nyangahatn manta, sesuai namanya, sesaji yang disiapkan biasanya adalah bahan yang belum masak atau mentah (manta).

Upacara selanjutnya disebut ngadap buis (nyangahatn masak); merupakan upacara adat puncak dari keseluruhan proses ngampar bide dimana seluruh peraga adat sudah tersedia. Pada tahapan ini, sesaji (buis) yang berupa makanan masak dipersembahkan kepada awa pama dan Jubata, sebagai wujud rasa syukur sekaligus permohonan berkat.

Ngampar bide dihadiri para tokoh Dayak yang berperan dalam menyiapkan Gawai. Mereka membahas persiapan, menyiapkan, dan tentunya melaksanakan acara inti, yaitu memohon perlindungan Jubata atas kelancaran upacara. Pada upacara penutupan akan digelar gulung bide (gulung tikar) yang menandai berakhirnya upacara.

Pekan Gawai Dayak (Gawai Dayak modern) masih melaksanakan serangkaian upacara tersebut di atas tetapi tidak memakan waktu berbulan-bulan. Sesuai namanya, upacara ini hanya dilaksanakan dalam waktu sepekan, setiap 20 Mei sebagaimana diarahkan oleh Gubernur Kalimantan Barat terdahulu, Kadarusno. Pekan adat ini tidak hanya diramaikan oleh kegiatan upacara tetapi juga beragam kegiatan seni yang melibatkan banyak kalangan masyarakat di Kalimantan.

Seminar budaya, pementasan tari tradisional yang biasanya menandai dimulainya Pekan Gawai Dayak akan pula mewarnai acara tersebut. Ada pula beragam atraksi budaya khas Dayak, termasuk ditampilkannya beberapa permainan tradisional. Ada juga beragam stand sebagai tempat menyuguhkan aneka budaya dan produk budaya khas Dayak, seperti kerajinan tangan, produk seni, dan makanan khas tradisional Dayak. Bahkan, ada pula sejumlah perlombaan yang berlangsung selama Pekan Gawai Dayak, misalnya lomba memasak masakan tradisional, dan acara menarik lain.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Tuesday, February 19, 2013

CANDI SUKUH

Candi Sukuh didirikan pada masa kerajaan Majapahit abad 15M, Yang berkuasa saat itu adalah Ratu Suhita 1429-1446 M. Candi Sukuh menghadap kearah terbenamnya Matahari dan dibangun dengan tiga teras bangunan. Setiap tingkatan teras menggambarkan tingkatan menuju kesempurnaan kehidupan. Terdapat pula relief yang melambangkan ketiga dunia. Yaitu Dunia Bawah, Dunia Tengah dan Dunia Atas. Dunia Bawah dilambangkan dengan relief Bima Suci, Dunia Tengah dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala. Sementara Dunia Atas di tasbihkan dengan relief Swargarohanaparwa. Penggambaran ketiga dunia tersebut menunjukkan tahapan yang harus dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup di Nirvana. Semuanya itu merupakan simbol menuju keabadian atau kesempurnaan yang diwujudkan melalui upacara keagamaan atau RUWAT. Ruwat adalah salah satu sarana untuk meningkatkan derajat seseorang menuju tingkatan yang lebih suci yaitu hilangnya mala dalam diri atau moksa.
Halaman ini merupakan teras paling bawah, yang terdapat gapura masuk berbentuk Paduraksa. Siapapun yang masuk ke Candi ini, diingatkan bahwa kehidupan ini tidaklah mudah. Kesulitan hidup disebabkan oleh melekatnya mala dalam diri manusia. Pahatan relief Garudeya merupakan salah satu cara mengingatkan manusia akan sulitnya kehidupan.
Di Gapura ini terdapat Sengkalan yang menandakan dibuatnya Bangunan suci ini, Sengkalan “Gaporo Buto Abang Wong” juga tertulis huruf jawa kuno = 1359 saka/1437M. Relief tersebut menggambarkan seorang manusia yang ditelan raksasa.
Halaman semi sakral, dimana umat manusia disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan melakukan upacara penyucian menggunakan air suci atau amrta, adanya relief Pande Besi menggambarkan ini. Karena pada masyarakat jawa kuno golongan ini (Pembuat Pande Besi/Empu) memiliki status khusus yang dianggap memiliki kekuatan magis, mereka mampu memberikan air bertuah yang suci = amrta.
Halaman III
Halaman sakral, dimana terdapat bangunan utama dan relief-relief yang menggambarkan sebuah cerita penggambaran kehidupan.
Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
Relief Garudeya
Menceritakan pembebasan Winata dari perbudakan Kadru oleh Garuda dengan menggunakan air amrta. Winata- Ibu Garuda – menjadi budak Kadru- ibu para naga- karena kalah bertarung tentang warna ekor kuda Ucchaisrawa yang keluar selama pengadukan lautan susu (samudramanthana)
Relief Bima Suci
Drona memerintahkan Bima mencari air kehidupan di Gunung Candradimuka, dalam perjalanan Bima bertempur dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Kedua raksasa tersebut kalah dan menjelma menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra. Kemudian Bima melanjutkan perjalanan menuju samudera dan bertemu Dewaruci. Menyatu melalui telinganya dan menemukan hakekat air penghidupan.
Relief Ramayana
Mengisahkan percintaan antara Rama dan Sinta yang menghadapi banyak ritangan. Ketika mereka mengembara, Sinta diculik oleh Rahwana, raja Alengka. Atas bantuan Laksamana dan pasukan Kera, Anoman sang pemimpin pasukan kera. (img_arwana) Rama berhasil membebaskan Sinta dan mengalahkan Rahwana. Sinta membuktikan kesuciannya dengan membakar diri hidup-hidup, seketika api berubah menjadi teratai.
Relief Swargarohanaparwa 
Menceritakan perjalanan Pandawa menuju surge setelah perang Bharatayudha. Dalam perjalanan itu Drupada meninggal terlebih dahulu, diikuti Arjuna, Sadewa, Nakula, Bima. Hanya Yudhistira yang tertinggal. Ia kemudian didatangi dewa Indra, diajak menuju surge dengan keretanya, akan tetapi Yudhistira menolak kecuali dengan anjingnya boleeh ikut serta. Sesampainya disurga Yudhistira melihat Kurawa dalam kesenangan dan Pandawa dalam Kesengsaraan. Ia memilih bergabung dengan saudaranya. Seketika tempat tersebut menjadi surga.
Relief Bima
Menggambarkan Bima yang sedang membunuh raksasa dan terdapat tulisan dalam huruf kawi ‘pedamel rikang buku tirta sunya’ = 1361 Saka (1439 M).
- Samuderamanthana
Pengadukan lautan susu yang dilakukanoleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan air kehidupan/ amrta. Pengadukan tersebut mengunakan Gunung Mandara dengan Naga Besuki sebagai pemutarnya,kura-kura Akupa yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu menyelam ke dasar laut menjadi pondasi agar gunung mandara tidak tenggelam.
Pada teras ketiga, terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab ca...Lihat Selengkapnya
Relief & Arca Perlambang Kehidupan Pria dan Wanita

1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Monday, February 11, 2013

MAMPIR NGOMBE

terminology jawa : di dunia ini hidup adalah "mampir ngombe" (mampir untuk sekedar melepas dahaga) menggambarkan bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan yang sangat sementara sekedar minum namun meski hanya mampir tetap ada tugas dan sesuatu yg harus dijalankan selama mampir ini, jadi tujuan hidupnya bukan di dunia itu ... lalu ?

PERJALANAN DAN TUJUAN
sebagaimana orang yang menempuh perjalanan kita mempersiapkan segala sesuatu. bekal, kendaraan, baju2 ganti mungkin peta. kemana tujuan perjalanan manusia dalam terminilogy jawa juga dikenal "Bali mring Kasunyatan ing alam kelanggengan" kembali pada Kasunyatan di alam keabadian ya tak lain "sangkan paraning samubarang dumadi" asal dan tujuan segala makhluk. makhluk hidup maupun tak hidup. hidup dan tak hidup dlm termonology umum ini mengacu pada ilmu hayat, ilmu pengetahuan alam, atau ilmu biology dimana yang disebut hidup memiliki ciri2 bernafas, berkembang biak dsb. namun sebenarnya semua juga menempuh perjalanan baik yg disebut hidup atau tak hidup sekalipun... dari tidak ada kembali ke tidak ada karna sejatinya kita ini juga TIDAK ADA. dan tak ada apapun ... apapun ... selain YANG AWAL dan YANG AKHIR ya YANG SEJATI itu sendiri yang tak dapat digolongkan sebagai sesuatu. kalau sekarang dalam tulisan ini disebut seperti rangkaian huruf di atas itu YANG SEJATI biar kita lebih mudah memahami, semoga ketemu pengetahuan yg berguna. mau disebut TUHAN mau disebut GUSTI mau disebut ALLAH, NIBBANA, JAH atau disebut apapun monggo semoga panjenengan menemukan tujuan yang dimaksud SANGKAN PARANING SAMUBARANG DUMADI.
sebuah perjalanan bepergian untuk mudahnya dibayangkan ada sebuah rumah yang kita tuju. di sebuah kota yg jauh, di jalan kita kadang berhenti di rumah yg lain untuk minum mungkin sekali mungkin berkali kali tergantung bagaimana route perjalanan kita ya tak lain jalan hidup setiap orang yg setiap orang tidak sama. kita bisa menambah bekal di tiap persinggahan. sepanjang perjalanan mungkin kita ditolong dan mungkin juga kita berkesempatan menolong orang lain. setidaknya kita mestinya bisa mengurus diri sendiri jangan sampai memberatkan orang lain.

PERBEKALAN
kita juga dijamu dengan makanan dan minuman kita bisa bergaul dan bertemu orang2 lain yang sama2 mampir. semua orang sudah disediakan jatah makan minum oleh yang punya rumah tapi jika kita punya cukup sisa bekal bisa juga membeli dari orang sesama penjalan yg punya sesuatu berlebih. kalau kita banyak modal juga bisa berdagang. tapi jangan keasyikan dengan tempat mampir ini tujuan kita adalah bertemu Yang Maha Berpunya yang memiliki tempat mampir ini juga tapi tak mudah mungkin beliau sedang tidak di rumah ini mungkin sedang tidak ingin menerima tamu, banyak kemungkinan. bekal, sarana peralatan, kendaraan, baju semua itu hanya kita perlukan selama menempuh perjalanan. terlalu banyak bekal juga jadi berat dan sulit bergerak, harus mengurusi bekal malah urusan yg utama terlupakan.

TUAN RUMAH suatu saat nanti kalau mau ketemu Yang Punya Rumah semua bekal harus diletakkan tak perlu pikiran kita terbagi lagi karna diberi kesempatan untuk bertemu semua yang lain jadi tidak penting, masuk ke ruangnya alas kaki harus di lepas, jaket dan semua kita haros benar2 polos dan bersih tak ada apapun yang dapat kita pamerkan untuk mengambil hatiNya.
jika sudah demikian dekat tujuan ataupun tempat mampir minum bekal2 kita mungkin sudah habis kita pakai mungkin ada yg tersisa tapi kalau dapat janji bertemu tuan rumah di depan pintu kamarnya kita harus letakkan juga bersama tas juga sandal atau sepatu kita lepas. baju jaket dan bawaan2 lain akan dilepas untuk masuk dan bertemu tuan rumah. tapi belum tentu kita langsung bertemu yang punya rumah.
dan kita tak memerlukan apa2 untuk bertemu yang punya rumah ini. karena yang punya rumah adalah Yang Maha Kaya, Yang Maha Pemberi dan segalanya. jika kita bisa bertemu kita mungkin diberi tahu "memang di sinilah tempat tujuanmu" atau diberi tahu "kamu harus meneruskan perjalanan ke "anu" untuk melakukan "anu"" diberi tugas, atau malah kita tak sempat diterima oleh yg punya rumah atau malah ada sesama orang mampir yang mengaku ngaku sebagai yg punya rumah atau mengaku bisa mempertemukan memanfaatkan kita, kita harus pandai2 dan mengenal sifat2 dan ciri2 Yang Maha Berpunya itu. belum tentu yang banyak dibicarakan orang adalah benar2 yang punya rumah, mungkin hanya orang mampir yg punya banyak teman. apakah kita sudah tahu kita sampai di tujuan akhir atau hanya tempat mampir minum, sebelum bertemu yang punya rumah kita tak tahu.

MAMPIR DI PERSINGGAHAN
di setiap tempat mampir minum kita bertemu orang lain kita bergaul berkenalan bertukar pengetahuan bertukar pengalaman. juga bertemu orang2 yang suka mengganggu, suka mengambil milik orang lain, suka membohongi dsb.
bagaimanapun kita wajib untuk menjaga perilaku kita. kita hanya singgah dan berada di situ hanya sementara kalau sudah waktunya kita harus pergi apapun kalau bukan milik kita kalau bukan diberikan ke kita tak boleh kita bawa dan memang tak bisa. apa sopan, apa nggak malah memalukan pas waktunya pergi kita masih memegangi sesuatu yg bukan milik kita kita tarik keluar tak bisa kita jadi perhatian orang dilihat orang banyak malah mungkin ada satpam yg harus melakukan tindakan agar kita melepas pegangan ke benda yg bukan milik kita itu. belum lagi setelah diseret keluar digebukin karna banyak bikin masalah dan merugikan orang lain. kalau memang kepunyaan kita meski tertinggal di pintu gerbang nanti juga ada yg memberitahu menyusulkan atau memberi tahu "pak nanti kepunyaan bapak akan disusulkan di tempat mampir berikutnya". semakin baik tingkah laku kita selama di persinggahan semakin baik pula perlakuan para penjaga dan pegawai di tempat2 persinggahan berikutnya meski tetap saja kalau belum waktunya kita ketemu yang punya rumah ya tetap belum bisa ketemu. dimanapun kita selalu NGUNDHUH UWOHING PAKARTI.
meski begitu tiap kali mampir kita harus menjalankan tugas, yaitu tugas yg harus dijalankan di tiap tempat mampir. kita harus menjaga tempat yg diberikan kepada kita merawatnya syukur2 kita bisa berkarya dan membuatnya lebih baik dari sebelumnya. lebih baik lagi kalau itu juga berdampak lebih luas semua yg mampir bersama kita ikut merasakan dan kalau kita pergi kita meninggalkan jejak yg baik, karya kita yg berguna bagi orang2 yg mampir setelah kita pergi. yg dalam terminologi Jawa disebut dengan istilah MEMAYU HAYUNING BAWANA.
ada juga kalanya kita ketemu tamu lain sesama penempuh perjalanan orang yang jahat entah apa perkaranya entah ia ingin memiliki apa yg kita bawa entah memang suka pertengkaran kadang orang seperti itu berbuat melebihi batas melakukan hal nekat hingga kita terusir keluar sebelum waktunya entah dengan jalan apapun walau secara paksa para petugas bukan membiarkan tapi mengamati saja toh nanti juga ia harus lewat gerbang sebelum terpaksa meneruskan perjalanan. bisa diberi tahu "sudahlah pak nanti barang2 bapak akan disusulkan ke tempat mampir berikutnya silahkan terus saja tak apa kok" yah terpaksa pergi meski dengan bekal minim, harus meninggalkan teman, kenalan dan orang2 yg kita sayangi dan menyayangi kita meski tahu mereka juga sedih menangisi kepergian kita. nanti di tempat persinggahan berikutnya di gerbang kita juga suda dikenali oleh para petugasnya "Ah... bapak sudah ditunggu teman2 bapak di sana milik bapak nanti juga akan kami antar ke sana, tolong pak nanti dekati si "anu" tugas bapak menolong dia kali ini" lalu kita masuk dan bergabung di tempat persinggahan yg suasananya berbeda dengan di tempat sebelumnya.
tanpa kita tahu sebenarnya petugas selalu mengawasi dan mengikuti kalau kita tak suka bertingkah berlebihan, walau kita kadang jadi korban kejahatan oleh pengunjung yang lain, meski solah kita tak ditolong tapi kita selalu dijaga. apalagi kalau kita punya tugas yg harus dilakukan.
akhirnya kita ketemu si "anu" yg dipesankan petugas di gerbang tadi ... oh rupanya cantik juga nih... dan kita ditugaskan menolongnya ... menolong apa ? sambil terus meneruskan kita juga akan tahu tugas kita harus menolong si "anu" dalam hal apa. dan kitapun harus berusaha melakukan sebaik baiknya. sesekali ada penjaga menyusulkan "pak ini rokok bapak yg dulu tertinggal di persinggahan yg dulu, tadi ada yg mengantar" wah sampai barang2 kecilpun nggak hilang.

PERPISAHAN
sampai datang saatnya kita harus pergi saat semua tugas sudah selesai dilakukan dan kita sudah tahu waktunya tak lama lagi. kita pamitan pada si "anu" kita harus berpisah dan juga pendatang2 baru yg ikut bersama kita. tolong jaga ibu"anu" sudah waktunya aku harus pergi. lalu kita menyingkir ke sudut ke tempat kasir berapa yg harus kita bayar, tadi makan apa saja, kita mau bawa apa saja untuk bekal di jalan, kerusakan apa yg tak sengaja kita lakukan bayar lunas deh... eh ternyata ada juga imbalan untuk hal2 kecil yg kita lakukan lumayan juga total2 malah untung. keluar rumah menuju gerbang untuk melapor sambil menyapa para penjaga gerbang ada pesanan2 dan barang2 kita yg dulu tertinggal ternyata sudah menunggu jadinya ya kita bawa deh naik kendaraan meneruskan perjalanan.
dan hidup ini tak lebih sebuah perjalanan,
yang panjang dan tak tahu kapan berakhir.
namun kita tahu pasti akan ada akhirnya
tapi jika kita sudah tahu akhir itu
artinya kita sudah atau segera sampai di sana
kalau sudah seperti itu kemungkinan besar
aku tak dapat dan tak akan cerita seperti ini.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

PANGERAN ASTAPATI

A.   Prawacana

Dimensi ruang, waktu dan budaya masa lalu dalam dinamika dan perspektif sejarah, senantiasa memiliki kaitan erat dengan tokoh, manusia dan kemanusiaannya. Ini antara lain disebabkan bahwa dalam sejarah bidang apa pun, manusia tetap menjadi tema sentral kajian dan pengungkapan sejarah.
Manusia sebagai subyek sejarah, tentunya memiliki konsekuensi bahwa setiap kupasan tentangnya senantiasa pula memiliki subyektivitas, sekali pun upaya-upaya pengungkapannya diusakan untuk menjadi obyektivitas secara maksimal. Tokoh, manusia dengan kemanu- siaannya, antara lain dapat ditelaah dan dimengerti melalui peninggalan-peninggalan berupa benda, baik sebagai pembuktian langsung maupun tidak langsung. Subyektif sejarah itu muncul, sebagaimana diakui oleh Mr. A.K. Pringgodigdo:
 " . . . barangkali akan terlihat pula bahwa yang menulis adalah anak bangsa Indonesia dan barang kali terdapat pula dalam buku ini satu dua pemandangan atau kesimpulan dari penulis yang sangat bergandengan dengan haluannya sendiri, . . ." (1949: 13).

Subyektivitas sejarah itu muncul pula, sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Noegroho Soesanto:
" . . . Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian manusia, karenannya tidak memiliki realitas obyektif, melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata di masa lampau (1974:IV). Subyektivitas itu pulalah yang menyebabkan terjadinya perbedaan visi, misalnya, Belanda menyatakan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak, sebaliknya, para sejarawan dan rakyat Indonesia dengan kacamata nasionalnya menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan dan pejuang (1987:47).
Prof Dr. Haryati Soebadio mengingatkan dengan tegas, bahwa:
"Sejarah apa pun dan di kawasan mana pun di dunia ini penuh dengan peristiwa yang di satu sisi bisa menimbulkan aneka macam lagenda dan bahkan mitos, sedangkan di sisi lain bisa seketika terlupakan  karena memang selamanya pasang surut, masa keemasan di samping masa pergolakan dan bahkan kemusnahan." (1991 a: 69).
karena itu ia sekali lagi menggarisbawahi agar:
" . . . sejarawan perlu mawas diri, supaya ia tetap menjaga integritasnya sebagai peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai ilmiawan tidak diharapkan memberi tafsiran yang melanggar etika ilmiyahnya. Ia mutlak harus mampu menghadapi sekalian peristiwa dan kejadian-kejadian di sekitarnya dengan sikap seobyektif mungkin dan serasional mungkin . . ." (1991 b: 7-8).

Namun demikian, kita tetap menyadari arti penting kajian sejarah be- serta peninggalan/warisan budaya masa lalu atau dikenal dewasa ini de-ngan istilah benda cagar budaya. Di dalam penjelasan Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Presiden Soeharto menegaskan bahwa :
"Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa."
Maka sesungguhnya, makna sejarah diakui penting dan karenanya diperlukan. Memang diakui seringkali terjadi terdapat kesenjangan interpretatif antara sejarah sebagai peristiwa maupun sejarah sebagai kisah, atau dengan perkataan lain memang terdapat perbedaan nuansa antara sejarah yang benar-benar terjadi dan sejarah sebagaimana diceritakan. Tetapi yang penting, para sejarahwan dan masyarakat pemakai informasi kesejarahan, menyadari dan menghindari segala kemungkinan penyusunan sejarah yang sebaiknya, karena itu akan berarti sebagai penipuan sejarah.
Bagaimana pun, sejarah senantiasa memiliki perspektif masa depan, dan karena itu tidak ada alasan untuk bersikap pesimistik. Peryataan G.J. Reiner yang sungguh membesarkan hati :
" . . . it is better, therefore, far better, that he should confess, to himself and to his readers, the nature of his approach, display his bias . . ." (1961: 174)

Keterbukaan sikap tersebut jelas amat diperlukan, mengingat bahwa:
"Reality is not 'rational' or 'realistic' in the sense that everything which exists or happens is logical or necessary or explicable, most of it is surprising, fantastic and improbable . . ." (Marc Bloch, 1954).
Dalam kajian ilmu sejarah sedikitnya terdapat dua teori kebenaran yang pada umumnya memiliki relevansi terhadap pengujian kebenaran fakta sejarah, yakni apa yang biasa disebut dengan teori kebenaran korespondensi (correspondance theory of truth) dan teori kebenaran kohe-rensi (coherence theory of truth) (WH Walsh, 1970: 74-75).

Walsh menyatakan bahwa teori korespondensi mengacu pada: se-suatu itu (pernyataan) benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya (yakni apa yang benar-benar telah terjadi). Sementara itu teori koherensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila cocok (coherence) dengan pernyataan- peryataan lain yang pernah diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.
Ilmu sejarah berusaha menerangkan masa lampau, keterangan se-jarah adalah keterangan sejarah jika hanya bertautan dan berkaitan kuat pada bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti sejarah terdiri dari berbagai ragam, mulai dari segala jenis dokumen, arsip, peta kuno, silsilah, mata uang, prasasti, pada berbagai media (termasuk nisan), peralatan, pemukiman kuno, pelabuhan kuno, sisa-sisa pertahanan/perbentengan, sisa bangun-an, teknologi, natulasi, dan sebagainya.
Para sejarawan juga diminta perhatiannya terhadap berbagai sumber, seperti berita perjalanan, catatan harian, hikayat, tambo, legende dan sebagainya, karena sekali pun sebagian dari sumber-sumber itu meng-alami reduksi mau pun imbuhan, secara keseluruhan mengandung fakta sejarah  tentang sesuatu peristiwa, gejala, atau sesuatu hal. Transformasi data dan keutuhannya dipengaruhi oleh perjalanan waktu, perubahan persepsi serta proses pewarisannya.

Karena itulah dalam penyusunan dokumen historica ini, khususnya ketika pembahasan menyentuh para tokoh, akan dihindari sedapat mungkin berbagai penafsiran yang subyektif meski pun tidak mungkin 100 %. Salah satu misal, kehebatan sesuatu pertempuran akan diukur melalui jumlah pasukan yang terlibat, taktik dan strategi yang digunakan, teknologi peralatan, lama pertempuran, jumlah korban atau kerusakan dan sebagainya. Bukan pula dengan dramatisasi berlebihan mengarah pada retorika.
Mengenai kebenaran, dalam penulisan dokumenta historika sepenuhnya diserahkan kepada khalayak pembaca. Apabila sesuatu sumber berasal dari tradisi lisan, akan disebut tetap sebagai tradisi lisan, tetapi sebaliknya pula, apabila sesuatu sumber memang berasal/merupakan dokumen yang otentik, juga akan disebut sebagai dokumen otentik yang telah teruji kebenarannya. Kisah sejarah Pangeran Astapati mau pun  Raden Cakradiningrat pun tak lepas dari sikap dan disiplin serupa.

Kembali pada tujuan penulisan dokumenta historika ini, tak sekedar untuk mencoba membina ulang satu pohon genealogi, dan jauh dari segala prasangka dan dramatisasi peran atau kedudukan para tokoh yang kebetulan ada di dalamnya. Peranan para tokoh, jika pun ada, hanya akan disebutkan jabatan formal, misalnya residen, regent, wedana, asisten wedana, demang, kontrolir, polisi praja dan sebagainya.

B.   Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati
Kehadiran sosok tokoh Pangeran Astapati dalam konteks sejarah kesultanan/daulah Islam Banten, berada pada bentang waktu masa sultan Banten ke-VI. Benteng waktu mana penuh dengan konflik serta intrik istana atau kalangan pucuk pemerintahan, yakni masa pemerintahan Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar Sultan Haji yang memerintah dari tahun 1672 - 1687 (Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, 1990: 162).
Sultan Haji adalah anak kandung sulung Sultan Ageng Tirtayasa 'Abul Fath 'Abdul Fattah yang memerintah dari tahun 1651 - 1672. Dari keempat istrinya Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai 27 anak (putera dan puteri), di mana sesuai dengan kebiasaan dalam tata pemerintahan, beliau mengangkat putra pertamanya menjadi "Putra Mahkota". Jabatan ini biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi Pembantu atau Mangkubumi Kedua dalam struktur pemerintahan (Husein Djajadiningrat, 1983: 208). Wewenang Putra Mahkota cukup besar, mengingat setiap keputusan kerajaan, merupakan hasil musyawarah antara Sultan, Mangkubumi dan Putra Mahkota. Karena itu pula maka lazim Putra
Mahkota mempunyai pembantu-pembantu sendiri.

Pengangkatan Pangeran Gusti menjadi Putra Mahkota ini terjadi pada tanggal 16 Pebruari 1671 bertepatan dengan datangnya surat dari Syarif Mekkah yang isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti berhak menyandang gelar Sultan Abun 'Nasr Abdul Kahhar, yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji. Sultan Haji diberi wewenang mengatur seluruh urusan dalam negeri (internal affairs), sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa berwenang mengatur seluruh urusan luar negeri (external affairs).

Kronologi serta dimensi situasional Banten pada waktu itu, mungkin dapat diurut dalam proposisi-proposisi sebagai berikut (Halwany Microb dan Mudjahid Chudari, 1990: 106-107).:
1.    Sultan Abulfath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa terkenal sebagai salah seorang sultan Banten yang amat anti Belanda, karena itu ia membangun istana kedua di front depan, yakni di desa Tirtayasa, desa terdekat untuk menyerang Belanda di front Tangerang dan Angke. Karena itu Sultan ini, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa;

2.    Keberadaan Sultan di Tirtayasa meninggalkan Surosowan sebagai pusat administrasi kesultanan Banten, dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk mengadu-domba dan memecah-belah elite kerajaan, yang justru memperhadapkan Sultan dan Pangeran Purbaya (putera kedua) di satu pihak dengan Sultan Haji beserta pengikutnya yang berbasis di Surosowan.

3.    Kompeni Belanda menghasut Sultan Haji (Putra Mahkota), ketika sekembalinya ia dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah, mendapati keadaan di mana Pangeran Purbaya yang mempunyai sikap/watak jauh lebih baik dari pada kakaknya, akhirnya Sultan haji lebih percaya kepada Kompeni Belanda yang dianggapnya sebagai kawan sejati, daripada lingkungan keluarga dekat/istana yang ia anggap memusuhinya.

4.    Persahabatan antara Sultan Haji dan Kompeni Belanda sampai pada tahap yang menghabiskan kesabaran Sultan Ageng antara lain de-ngan tindakan-tindakannya:
a.    memasukkan satuan tentara Kompeni sebagai pasukan tambahan di Surosowan;
b.    mengirimkan utusan ke Batavia yang memberitahukan pada VOC bahwa yang berkuasa di Banten-Surosowan pada saat itu adalah dirinya (Sultan Haji) dan bukan lagi ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa);
c.    mengirimkan ucapan selamat kepada Speelman atas diangkatnya yang bersangkutan sebagai Gubernur Jendral VOC di Batavia, padahal Kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon sehingga Kompeni dapat menguasai Cirebon keseluruhannya.

Hal-hal tersebut semakin memperuncing keadaan dan terbelahnya kekuatan politik-militer pribumi Banten dalam berhadapan dengan Kompeni Belanda, yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan Banten. Sikap politik Sultan Haji tersebut kemudian berbuntut dengan:
1.    Penyerbuan Sultan Ageng ke Surosowan yang berakibat dapat didukinya Surosowan,
2.    Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC.
3.    Bantuan VOC terdiri dari pasukan-pasukan: (a) yang dipimpin Kapten Francois Tack dan pasukan Saint Martin menyerbu dari arah Teluk Banten, sedangkan (b) pasukan darat 1000 orang yang dipimpin Kapten Hartsinck dari Batavia menyerang Tangerang, sehingga Tirtayasa dapat diserang dari arah Banten mau pun Tangerang.
Peperangan yang memakan waktu panjang dan jatuhnya korban jiwa serta kerusakan di kedua belah pihak dalam jumlah yang amat besar, melalui siasat yang amat licik, akhirnya peperangan dapat dihentikan dengan dapat ditangkapnya serta dipenjarakannya Sultan ageng Tirtayasa pada tanggal 14 Maret 1683. Sebagaimana diketahui awal penyerbuan VOC adalah pada tanggal 6 Maret 1682, berarti lama peperangan ±1 tahun.
Dalam keadaan terbelah, maka tentu saja kedua belah pihak, yakni Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji (ayah dan anak) memiliki pasukan dan panglima perang yang andal. Menurut tradisi Pangeran Astapati diketahui sebagai panglima perang Sultan Banten yang ke- 6 adalah Sultan Abu'n Nasr Abdul Kahar gelar Sultan Haji.

C.   Identifikasi Pangeran Astapati
Menurut tradisi, Pangeran Astapati adalah salah satu panglima perang Banten pada masa pemerintahan sultan Banten ke-6, berasal dari Baduy. Untuk menelusuri identifikasi tokoh Pangeran Astapati ini, maka akan dikaji hubungan-hubungan antara (1) Baduy dengan Banten, dan (2) Pangeran Astapati dengan Banten dan Baduy. Kajian tentu didasarkan pada :
1.    sejarah tutur (oral history), dan
2.    pendekatan sumber tulisan (written evident approach) baik dari produk sastra (serat, kidung, wawacan dan lain-lain) maupun "ceritera" sejarah yang pernah ditulis.

Penduduk Baduy yang berbahasa Sunda ini, menamakan dirinya sebagai orang Kanekes, sedangkan istilah Baduy adalah sebutan orang luar yang justru tidak disenangi oleh orang Kanikes itu sendiri. Nama Kanekes berasal dari nama Sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu. Selain itu nama orang Kanekes biasa pula menamakan dirinya orang Rawayan. Nama ini berasal dari nama sebuah Sungai Cirawayan, dekat kampung Cikeusik di daerah Baduy Dalam (Nurhadi Rangkuti, 1987: 21-22).

Mengenai hubungan Baduy dengan Banten, dapat ditelusuri dari berbagai sumber naskah kuno seperti: Cariosan Prabu Silihwangi, serta sejarah tutur (oral history) atau yang kemudian dikembangkan sebagai life histories approach (Yudistira Garna, 1991: 73-74).

Banyak orang beranggapan bahwa orang Baduy adalah keturunan orang pelarian dari Pajajaran ketika kerajaan itu jatuh ke tangan pe-nguasa-penguasa/kerajaan pantai yang beragama Islam, kemudian orang-orang yang lari itu tidak mau masuk/beralih ke agama Islam.

Menurut kajian N.J.C. Geise (1991; 70), berdasarkan Cariosan Prabu Silihwangi (CPS), dinyatakan bahwa Prabu Silihwangi mengadakan hubungan persekutuan dengan tujuh raja, yaitu Raja Ponggang, Singapura, Sumedang, Kawali, Panjalu, Pekalongan dan Blambangan (N.J.C. Geise, 1952: 204). Nama Sultan Banten tidaklah disebut.

Berdasarkan rekaman tutur Jaro Sarpin yang pada waktu wawancara dilakukan berfungsi sebagai Jaro Gupernemen (penghubung antara masyarakat Baduy dengan Gupernemen mana saja), dapat diamati me-ngenai pandangan orang Baduy sendiri mengenai diri mereka sendiri (inward looking), seperti berikut ini:

"Bulan Kawalu, Bulan Karuhun, wangatua urang, paradalam Prabu Siliwangi asup jadi urang Pakuan, nya eta maung. Dipenta ku Jaro kaselametan. Bisa ngarekakeun jelema, manehna ngarupakeun jelema ngajagi, ngaraksa umat-umat Jaro, lamun puasa, titipan urang Pakuan, geus ku Jaro pantangan sagala rupa geh, sabab dipenta-penta kasalametan tina karuhun tea. Diurus dina bulan Kawalu, di tanggal delapan belas. Hayang cunduk cimarang aturan, cimereng micara, anak umat-umat, anak putu-putu sakbeh, anak putu Kanjeng Nabi Muhammad sakabeh, bangsa Cina, Blanda, supaya jajakertana, jauh belahina, salamet dirina, jajaperangna, parek rejekina" (Geise, 1991: 70-71).
dari self-identification tersebut, nampak jelas bahwa dalam sikap kandang  orang Baduy hanya terdapat dua tatanan masyarakat, yakni: Baduy dan non Baduy. Pengetahuan mereka mengenai struktur/tatanan non-Baduy amat terbatas, seperti yang mereka katakan:

"Pulau Banten jeung negara telung puluh, salawe pancanegara, sakolong langit, satangkarak lemah"
yang semuanya itu:
"Tangtu Tilu anu ngurusan, Jaro dangka anu napaan."
selain itu, betapa lugas sikap mereka:
"Jelema Kanekes tara takluk ka Gupernemen."

Dari rekaman sikap-sikap orang Baduy tersebut di atas, tampak bahwa Prabu Silihwangi beserta rakyat dan tatanannya bukan merupakan acuan dari masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy memiliki hubungan yang jauh lebih dekat terhadap Ratu Banten seperti yang dituturkan oleh Ki Jalceu pada sekitar tahun 1982, yang menyatakan sikapnya sehubungan dengan hilangnya satu benda pusaka mereka. Ia menyatakan:
"Ayeuna teh usum halodo panjang, naha winduan atawa seuseulan ? Ceuk kami mah seuseulan, sebab Sangiang Pakombaan, nyaeta tutunggangan Ratu, nu kudu dijaga ku katurunan Puun, leungit. Sangiang Pakombaan teh kapan tutunggangan atawa titipan Ratu Banten, ratu urang sarerea
Tapi bukan berarti Baduy di bawah Banten, sedangkan hubungannya dengan Siliwangi, dikatakan Ki Jalceu sebagai berikut:

"Siliwangi di kami euweuh tuturunananan. Da turunan Siliwangi mah aya di Bogor. Jang kami urang Baduy, ngasuh ratu ngayak menak. Menak mah nyaeta anu ulung-ulung, anu ngaraksa nagara. Di kami mah euweuh menak. Namun para Dalem mah aya." (Yudistira Garna, 1991: 76-77).

Dari uraian terakhir, nampak inward-looking orang Baduy pada dasarnya :
1.    Orang Baduy atau orang Kenakes atau orang Gejeboh atau orang Kaduketug, memiliki hakekat pengetahuan tentang dunia luar, yang yang berkaitan dengan pembagian tugas bagi orang Baduy sebagai keturunan Karuhun untuk memelihara kelestarian kehidupan termasuk "mengayomi" Ratu Banten.
2.    Namun demikian Ratu Banten bukan penguasa Baduy, dan raja-raja Silihwangi bukan karuhun orang Banten.
Selain itu, ada pula ceritera-ceritera yang terutama diketahui oleh tokoh-tokoh masyarakat Baduy tentang riwayat Ratu Banten, yang bersama pengiringnya meninggalkan Banten, memudiki Ciujung dan akhirnya sampai di daerah sekitar mata air Ciujung di Pegunungan Kendeng, selenjutnya menetap disana. Mereka itulah nenek moyang orang Baduy. Di desa Kanekes terdapat sebuah kampung yang penduduknya beragama Islam, yaitu di kampung Cikakal Girang (Kodrat Subagio, 1976).

Pangeran Astapati dipercayai sebagai salah seorang pemimpin perang Sultan Banten ke-6 yang berasal dari Baduy. Menurut tradisi lisan, sesuai yang dituturkan oleh para keturunan Pangeran Astapati dan juga juru kunci makam Pangeran Astapati di Odel. Disebutkan dalam tradisi sejarah tutur tersebut, bermula dari Sanghyang Tunggal adalah Ratu Sunda/Parahyangan, yang berputera: (1)  Batara Cikal (yang meninggal semasa berusia muda), dan (2) Batara Patanjala (yang memerintah di Baduy, sedangkan putera ke-3, 4, 5 yang namanya tidak disebutkan, diperintahkan untuk memerintah di "salawe (25) nagara", termasuk di daerah Sunda, Priangan dan pulau-pulau kecil di sekitar Sunda/Priangan.

Dalam ingatan para pewaris Pangeran Astapati itu, disebut-sebut pula mengenai Banten merupakan pusat, sesuatu negara besar yang penuh dengan keramat. Batara Patanjala berputra antara lain Batara Bungsu yang ditugaskan melanjutkan pemerintahan di Baduy. Selanjutnya, salah seorang putera Batara Bungsu, yakni Ksatria Ki Dukun Putil yang juga berpangkat sebagai "Girang Pu'un" berkedudukan di Cikatarwana, merupakan putra yang diserahi untuk mengurus pengaturan, kemakmuran, keadilan dan keamanan "negara' Baduy.

Dukun Putil ini juga mempunyai beberapa anak, yang salah satu di antaranya tidak merasa puas terhadap tradisi hidup di Baduy, jiwanya menolak adat istiadat serta kebiasaan di Baduy, yakni putra yang bernama Raden Wirasuta.
Pada saat yang sama, Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa - 'Abulfath 'Abdul Fattah, Sultan Banten ke-6, ayah dari Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar atau Sultan Haji, yang kemudian menjadi sultan banten yang ke-7.

Beranjak dewasa Raden Wirasuta datang ke Keraton Surosowan, diterima sebagai bujang yang bertugas mencuci, di dapur, membersihkan pekarangan dan mengurus kuda. Dengan pekerjaannya itu, Raden Wirasuta menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Sultan, sehingga ia diangkat menjadi prajurit, lantas dinikahkan dengan salah seorang puteri Sultan (Ratu Dahlia), diangkat menjadi menteri negara merangkap sebagai panglima perang.

Dalam naskah Sajarah Banten Rante-rante, pupuh LXIII, antara lain disebutkan pula bahwa Pangeran Wirasuta (Raden Wirasuta), merupakan salah seorang Panglima yang dipercayai Sultan untuk menghadapi serangan armada kapal perang Belanda dari arah teluk Banten. Untuk sejumlah meriam dipersiapkan untuk menembaki kapal dari arah kota Surosowan. Meriam-meriam itu diatur dan dipercayakan kepada beberapa panglima, yaitu meriam-meriam: Jaka Tua kepada Pangeran Papatih, Jaka Pekik kepada Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Wetan, Muntab kepada Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran Wirasuta . . . (Husein Djajadiningrat, 1983: 76).

Pada waktu meng-Islam-kan Sriwijaya, dan setelah beres kembali ke Banten, di tengah laut selepas Lampung, Pangeran Wirasuta diserang secara pengecut (di-dodoho atau dibokong) oleh Ratu Dorah Putih, yang mengakibatkan luka parah (putus?) lengannya.

Tak lama setelah tiba di Surosowan Pangeran Wirasuta wafat, dimakamkan di Kasemen, dengan gelar Pangeran Astapati. Keramat makam/pesareannya kemudian hari menjadi makam keluarga keturunan para bangsawan Lebak Parahyang, dan tumbuhnya Amanat Karuhun yang berbunyi:

"Turunan atawa teureuk menak Lebak Parahyang teu menang nikah ka urang Palembang eujeung Lampung."

Pada dasarnya amanat karuhun tersebut memantangkan/melarang keturunan Menak Lebak Parahyang untuk menikah/kawin dengan orang Palembang atau Lampung.

Pangeran Astapati atau Raden Wirasuta Akmaldiningrat mempunyai anak:
1.    Ki Ngabehi bahu Pringga (Patih Darus)
2.    Ki Anab
3.    Nyai Dariah
4.    Kiai Gantang
5.    Nyai Andil
(pada keadaan sekarang, makam-makam anak ke-1, 2, 3 itu berjajar, sedangkan Kiai Gantang di bawah pohon santigi, dan Nyai Andil di dekat Urut Situ di Pasir Waluh, Lebak).

Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih Darus) menurunkan putera-putera ada yang menjadi ulama ksatria, santana (menak) dan petani. Yang menjadi kesatria/menak antara lain K.H. Kimaslia yang kemudian menjadi ulama sekaligus menak yang memegang kuasa atas daerah kabupaten Pandeglang dan bergelar R.T.A.A. Natadiningrat, yang juga dikenal sebagai Dalem Tjekek, setelah wafat dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Natadiningrat mempunyai 26 orang anak laki-laki dan perempuan (dari lain-lain istri), di antaranya ada yang melanjutkan tradisi keratuan, yaitu:
1.    Raden Murawan Sutadiningrat
2.    Raden Bagus Djajadiningrat

Sutadiningrat mempunyai anak antara lain (1) Raden Tjakra-diningrat, dan (2) Raden Tanu Sura Adiningrat (melanjutkan memerintah Tjaringin (Menes) dan Pandeglang, dan dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Sementara itu Tjakradiningrat ditunjuk menjabat di daerah Peucang, kemudian menjadi Wedana di Cilegon, sampai akhirnya tewas menjadi korban dalam pemberontakan Cilegon pada tahun 1888. Tjakradiningrat kawin antara lain dengan Nyi Raden Ajeng Encoh (Patih Bintang Rangkasbitung) berputera antara lain Nyi Mas Siti Asyah Amiruddin, Nong Tris dan lain-lainnya.

Perjalanan sejarah keturunan Pangeran Astapati, ternyata memang membentuk benang lurus, melahirkan/menurunkan atau pun menikah dengan para tokoh, pejabat dan cendikiawan. Penafsiran ini, tentu saja dicoba untuk dihilangkan subyektivitas kesejarahan, antara lain yang dapat dimunculkan akibat adanya aspek nasionalisme/nasionalitas.

Penokohan di sini, tak lain dikaitkan semata-mata terhadap prestasi puncak yang dapat dicapai oleh anggota "pohon keturunan" ini, yang banyak di antaranya didukung oleh dokumen-dokumen otentik-adminis-tratif.
Sementara itu, dari autobiografi P.A.A. Djajadiningrat (1936), dapat diurutkan asal muasal Pangeran Astapati beserta keturunannya, yang dikutip berikut ini.
"Batara Toenggal ada berpoetera enam orang laki-laki. jang soeloeng Batara Tjikal, wafat dengan tidak berpoetera. Sekarang ia memerintah doenia bersama-sama ayahnja. Poeteranja jang kedoea Batara Pantandjala, semata-mata memerintah bangsa Kanekes (Badoey) dan poeteranja yang bertiga lagi berkoeasa di Salawe Nagara (doea poeloeh lima negeri). Batara Patandjala berpoetera beberapa orang laki-laki, jang moeda sekali bernama Batara Boengsoe. Dari Batara Boengsoe inilah asalnja poe'oen-poe'oen Cibeo."

"Kira-kira pada waktoe Soeltan Ageng Tirtajasa memerintah di Banten, maka salah seorang Poe'oen Tjibeo itu ada beranak seorang laki-laki bernama Raden Wirasoeta. Ada poen Raden Wirasoeta ini tidak senang diam dalam masjarakat bangsa Badoej itoe, karena masjarakat itu terlaloe sempit terasa padanja. Oleh karena itoe dimintanjalah dengan sangat kepada Bapaknja, soepaja ia diberi idjin akan menghambakan diri kepada Soeltan Banten. Bapaknja tidak berkeberatan dan Raden Wirasoeta diberinja nasihat akan menghiliri Soengai djoeng: kelak akan sampai ke Keraton Bantam."

"Hanja dengan sebilah keris bernama "Kebo Gandar" sadja (jaitoe jang masih ada pada saja), toeroenlah Wirasoeta dari kampoengnja, berdjalan menghiliri Soengai Tjioedjoeng. Achirnja sampailah ke Tirtajasa, tempat Soeltan bersemajam pada waktoe itoe."

"Tidak lama antaranja ia poen diterima menjadi hamba di Keraton, moela-moela mendjadi hamba biasa (panakawan) tapi kemoedian mendjadi pradjoerit."

Dari autobiografi Djajadiningrat tersebut di atas, juga disebutkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa kerapkali berperang. Di dalam peperangan itu, Wirasuta menampakkan kecakapannya, dan untuk itu kemudian ia diangkat menjadi pangeran dan dinikahkan dengan salah seorang anak dari Sultan Ageng Tirtayasa.

Djajadiningrat selanjutnya menulis bahwa pada akhirnya Pangeran Wirasuta diangkat menjadi Patih (Perdana Menteri). Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Dikatakan bahwa luka yang diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut. Karena itu setelah ia meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati).

Hal penting dalam kajian dan rekonstruksi genealogi Pangeran Astapati ini, antara lain:
1.    tercampurnya trah Baduy dan Minangkabau pada ayah Ego dalam hal ini M. Santosa, sebagai salah satu anak dari perkawinan M. Padmadiwiria/Patih Bintang (keturunan Minangkabau) dan R.A. Fatmah yang memiliki keturunan/darah Baduy.
2.    semakin jelasnya pola-pola perkawinan antar bangsawan atau antar pejabat di masa lalu, sehingga pada setiap generasi senantiasa ada yang tampak memegang jabatan-jabatan tinggi/prestisius di daerah.
3.    baik dari keturunan pihak ayah maupun ibu M. Santosa (ayah Ego), beberapa kali memunculkan anggota generasi yang pernah menjadi pimpinan perang atau paling tidak memperlihatkan kekokohannya dalam melawan kolonialisme.

Seperti telah berulangkali disebutkan, penyusunan genealogi keluarga ini, sama sekali tidak memiliki pretensi untuk melebihkan atau membesar-besarkan peran dan ketokohan sejarah dari anggota-anggota generasi dalam pohon genealogi tersebut. Namun berbagai bukti ternyata memang menunjukkan bahwa dalam genealogi tersebut, terdapat dan tertanam benih-benih serta semangat anti penjajah. Sampai saat terakhir penulisan, belum dapat diamati korelasi antara sikap Banten dan Pagaruyung yang memang dikenal sangat anti Belanda, terhadap sikap serta wawasan anggota-anggota generasi dalam genealogi dimaksud.

Genealogi tersebut, sekaligus sepertinya membenarkan adanya premis yang berlaku dalam baik masyarakat Sunda maupun Jawa, yakni berlakunya bibit, bebet dan bobot dalam memelihara keturunan/keluarga.
Risalah penelusuran genealogi ini, sama sekali bukan ditujukan untuk menulis babakan/penggalan sejarah dalam sejarah Banten. Risalah ini hanyalah memiliki lingkup documenta historica bagi Pangeran Astapati dan keturunannya, baik ke atas maupun ke bawah.

Penelusuran yang memperlihatkan kecenderungan konglomerasi anggota-anggota genealogi yang mengarah pada kecenderungan mema-sukkan anggota birokrasi ke dalam pohon keluarga. Baik pada masa pra kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan.

Birokrasi kolonial maupun birokrasi republik, pada dasarnya dibentuk dengan harapan memperlancar kegiatan-kegiatan yang harus di-selenggarakan dan dikembangkan dalam usaha mencapai tujuan "organisasi" se-rasional mungkin. Pengaturan struktur birokrasi dan peranan-peranan para anggota birokrasi, yang dengan sengaja diangkat untuk menangani ekses-ekses, mengelola dan mengakomodasikan konflik dan partisipasi, serta mengelola administrasi pada setiap kegiatan organisasi.

Risalah ini sejak semula tidak diarahkan untuk "memberi warna hitam-putih" terhadap para tokoh yang disebutkan dalam genealogi. Meski pun risalah ini bukan dimaksudkan untuk penulisan sejarah, tetapi penulisannya itu sendiri didasarkan pada bukti/dokumen/ sumber sejarah. Dan jika saja ada percabangan ke samping dan kemudian ke atas atau ke bawah di luar garis hubung pokok (main linkage) yang tidak dipaparkan dalam verbal, berdasarkan bukti yang ada, kekurangan tersebut terdapat dalam lampiran-lampiran.

Risalah ini sungguh ditujukan bagi kepentingan paguyuban keluarga Pangeran Astapati beserta keturunan-keturunannya, dan sungguh jauh dari pretensi eksklusivisme, yang jelas-jelas bertentangan secara diametral terhadap cita-cita dan semangat proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.

Risalah ini, penulisannya ditujukan untuk merunut pohon keluarga sebagai dan dalam rangka menguatkan salah satu sendi kesadaran jatidiri yang berawal dari masa lalu, eksis di masa kini dan senantiasa memiliki perspektif masa depan. Seperti dipaparkan semula, risalah ini juga menjauhi konglomerasi anggota keturunan ke dalam kategorisasi sebagai pahlawan atau bukan pahlawan.

Apabila dalam runutan tersebut memang terdapat suri keteladanan, kepahlawanan, kecendiakawanan, maupun kepiawaian dalam ketata-prajaan, maka semoga hal tersebut justru jadi pendorong, stimulasi dan motivasi untuk senantiasa meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada generasi penerus yang bertanggungjawab pada masa depan negara, bangsa, agama, dan keluarga. Semoga.

1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

KIDUNG DARMAWEDHA

Dandhanggula

  1. Ana Pandhita akarya wangsit, mindha kombang angajap ing tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, wekasane langit jaladri, isine wuluh wungwang, lan gigiring punglu, tapaking kuntul anglayang, manuk miber uluking ngungkuli langit, kusuma njrah ing tawang.
  2. Ngambil banyu apikulan warih, amek geni asami adadamar, kodhok ngemuli elenge, miwah kang banyu den kum, kang dahana murub kabesmi, bumi pinetak ingkang, pawana katiyub, tanggal pisan kapurnaman, yen anenun sonteg pisan anigasi, kuda ngrap ing pandengan.
  3. Ana kayu apurwa sawiji, wit buwana epang kiblat papat, agedhong mega tumembe apradapa kukuwung, kembang lintang, sagara langit, sami andaru kilat, woh surya lan tengsu, asirat bun lawan udan, apupuncak akasa bungkah pratiwi, oyode bayu bajra.
  4. Wiwitane duk anemu candhi, gogodhongan miwah wawarangkan, sihing Hyang kabesmi kabeh, tan ana janma kang wruh, yen weuha purwane dadi, candhi segara wetan, ingobar karuhun, kahyangane Sang Hyang Tunggal, sapa reke kang jumeneng mung hartati, katon tengahing tawang.
  5. Gunung agung sagara sarandil, langit ingkang amengku bawana, kawruhana ing artine, gunung sagara umung, guntur sirna amengku bumi, rug kang langit buwana, dadya weruh iku, mudya madyaning ngawiyat, mangasrama ing gunung agung sabumi, candhi – candhi sagara.
  6. Gunung luhure kagiri – giri, sagara agung datanpa sama, pan sampun kawruhan reke, artadaya puniku, datan kena cinakreng budi, anging kang sampun prapta, ing kuwasanipun, angadeg tengahing jagad, wetan kulon lor kidul ngadhap myang nginggil, kapurba kawisesa.
  7. Bumi sagara gunung myang kali, saguning kang isining bawana, kasor ing artadayane, sagara sat kang gunung, guntur sirna guwa samya nir, singa wruh artadaya, dadya teguh timbul, lan dadi paliyasing prang, yen lulungan kapapag wedi asih, sato galak suminggah.
  8. Jim peri prayangan samya wedi, mendhak asih sakehing drubiksa, rumeksa siyang dalune, singa anempuh lumpuh, tan tumama ing awak mami, kang nedya tan raharja. Kabeh pan linebur, sakehe kang nedya ala, larut sirna kang nedya becik basuki, kang sinedya waluya.
  9. Siyang ndalu rineksa Hyang Widi, dinulur saking karseng Hyang Suksma, kaidhep ing jalma kabeh, apan wikuning wiku, wikan liring pujasamadi, dadi sasedyanira, mangunah linuhung, paparab hyang tegalana, kang asimpen yen tuwajuh jroning ati, kalis ing pancabaya.
  10. Yen kinarya atunggu wong sakit, ejim setan datan wani ngambah, rineksa malaekate, nabi wali angepung, sakeh lara samya sumingkir, ingkang nedya mitenah, maring awak ingsun, rinusak dening Pangeran, eblis lanat sato mara padha mati, tumpes tapis sadaya.

1      2       3       4        5        6       7        8        9        10...