Search

Saturday, September 21, 2019

Candi Cetho

Star Gate atau Gerbang Bintang adalah sebentuk pola mekanis atau portal untuk bisa melakukan perjalanan ruang angkasa yang sangat jauh sehingga keterbatasan dimensi ruang dan waktu dapat diatasi, seperti misalnya perjalanan ke rasi bintang Pleiades tidak mungkin dilakukan dengan pesawat ruang angkasa tapi harus menggunakan Star Gate, dalam tradisi kuno di Nusantara diyakini bahwa para leluhur di masa lalu sudah mengenal alat atau mekanisme untuk mengeksplorasi ruang angkasa yang sangat jauh sekali.

Kisah ini ada di seluruh dunia dan juga dari sabang hingga merauke ; Candi Cetho ( Cetho = Terang, Jelas ) terletak di Gunung Lawu yang nama aslinya adalah Gunung Mahendra, Gunung Mahendra ini dalam catatan kuno adalah satu Gerbang_Kahyangan di Bumi ini, Gerbang Kahyangan dalam peradaban modern saat ini dikenal sebagai Star Gate atau Portal antar dimensi atau portal yang mampu menembus dimensi ruang waktu.

Ada titik centrum utama yang ditandai oleh leluhur Majapahit di Candi Cetho Lereng Gunung Lawu, yang sebenarnya bukan punden asli temuan Majapahit, akan tetapi suatu punden purba yang di rawat dan direnovasi oleh beberapa dinasti kerajaan kuno dan yang terakhir disempurnakan oleh Majapahit, ada pictogram GARUDA yang tergelar dihalaman teras punden candi ini,

Dan bila kita duduk tepat berada dipunggung Pictogram Garuda maka itu mengarahkan ke Tiga Gapura yang bila malam hari tepat simetris dan segaris dengan rasi bintang Orion, beberapa peradaban purba dan kuno diseluruh dunia memuja Orion sebagai bagian Star Gate yang mampu menghubungkan pada kehidupan multi dimensional, namun semua akan tergantung kepada kwalitas Manusia,
Apakah Manusia saat ini telah mempunyai metode pengelolaan energi yang cukup guna melakukan Quantum Leap melewati Star Gate di Situs Cetho ini, karena rupanya leluhur Nusantara pada dahulu kala sudah punya perangkat dan teknologi spiritualnya, dan hingga saat ini NASA dan Organisasi Antariksa berbagai negara semakin kepo di buatnya, karena sebab melihat cahaya_beraturan membentuk segi delapan atau oktagon di atas Gunung Mahendra ( Lawu )

Gamelan

Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli Indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga terbentuk seperti sekarang ini, pada zaman Kerajaan Majapahit. Gambaran tentang himpunan alat musik gamelan pertama ditemukan pada relief dinding candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang telah berdiri sejak abad ke-8. Relief tersebut menampilkan sejumlah alat musik termasuk suling, lonceng, kendang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik dawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan. Pada masa Hindu-Buddha, gamelan diperkenalkan kepada masyarakat Jawa dan berkembang di Kerajaan Majapahit.

Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.

Kemudian alat-alat musik pengiring ikut diciptakan juga, untuk menyampaikan pesan yang sifatnya khusus. Hingga kemudian terbentuklah gamelan dalam wujud seperangkat komplit.
Gamelan berkembang pesat pada zaman Majapahit. Bahkan menyebar ke berbagai daerah seperti Bali dan Sunda.
Gamelan (Carakan: ꦒꦩꦼꦭ꧀ꦭꦤ꧀ ) adalah himpunan alat musik yang biasanya menonjolkan demung, saron, peking,gambang, kendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumen/alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa Gamel yang berarti memukul/menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa,Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk himpunan alat musik. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro,pélog, dan degung (khusus daerah Jawa Barat), dan madenda (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.
Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Gamelan umumnya dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang atau pada acara-acara resmi seperti upacara keraton, pernikahan, syukuran, dan lain-lain. tetapi pada saat ini, gamelan hanya digunakan mayoritas masyarakat di pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, dan juga masyarakat di Bali.

1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Sunday, August 7, 2016

PETIRTAAN DEWI SRI

(Candi Simbatan, Ds. Simbatan, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan)

Situs Pertirtaan Dewi Sri secara keseluruhan merupakan suatu bangunan pertirtaan. Hal ini nampak jelas dengan adanya bangunan kolam dan pancuran-pancuran yang ada di bagian-bagian tertentu. Petirtaan Dewi Sri merupakan bangunan kolam yang terletak di bawah permukaan tanah yang sebagian besar komponennya tersusun dari bata. Oleh karena itu, apabila hendak mencapai lantai dasar pertirtaan harus menuruni tangga yang berada di sisi timur.
Pada dinding barat bilik utama terdapat arca pancuran wanita dari bahan batu adesit. Arca wanita inilah yang kemudian oleh masyarakat dianggap sebagai arca Dewi Sri. Di Jawa ada keyakinan bahwa Dewi Sri dianggap sebagai dewi kesuburan dan dihubungkan dengan pertanian. Di pulau Jawa dan Bali Dewi Shri atau Dewi Sri dikenal sebagai dewi bercocok tanam, terutama padi dan sawah, la merupakan representasi dari dunia bawah tanah dan juga bulan, la mengontrol bahan makanan di bumi dan kematian. Oleh karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan.
Mengenai Dewi Sri, menurut cerita legenda bercorak Hindu Jawa yang berkembang di Indonesia diceritakan bahwa Dewi Sri merupakan istri Bathara Guru. Pada suatu masa, Dewi Sri dikejar-kejar oleh dewa bawahan Bathara Guru karena terpesona akan kecantikannya. Karena kesal, dewa bawahan itu pun kemudian dikutuk oleh Dewi Sri menjadi babi hutan. Namun walaupun telah berubah menjadi babi hutan, dewa bawahan tersebut terus mengejar Dewi Sri. Selanjutnya Dewi Sri pun memohon agar ia berubah menjadi tanaman agar tidak dikejar-kejar babi hutan itu lagi, dan kemudian ia menjelma menjadi tanaman padi di sawah. Namun demikian, ternyata babi hutan tersebut terus mengejar Dewi Sri dengan menjadi hama bagi tanaman padi.
Arca wanita yang terdapat di Pertirtaan Dewi Sri yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai Dewi Sri tersebut memakai mahkota yang bentuknya bertingkat mengecil ke atas, dan berhiaskan simbar/antefik. Arca tersebut memiliki prabha dan stela. Rambut arca digambarkan berombak panjang sampai bahu. Pada lehernya terdapat 3 lapis hara, salah satunya bermotif sulur-suluran. Arca tersebut bertangan dua dengan posisi tangan sedang memegang payudara yang berfungsi sebagai pancuran. Air pancuran ini dialirkan dari belakang stela. Air yang keluar dari payudara dapat diidentikkan dengan air susu. Dalam mitologi agama Hindu/Budha, air susu dianggap melenyapkan mala. Kedua lengan arca memakai gelang polos masing-masing 2 buah dan kelat bahu masing-masing dua buah berhias sulur-suluran. Kain digambarkan hingga ke mata kaki. Di kiri kanan pinggang terdapat uncal dan drapery di perut dan kiri kanan kaki. Gelang kaki digambarkan berbentuk sulur-suluran. Arca berdiri di atas padma ganda yang menempel pada stela. Di kiri kanan kaki arca terdapat hiasan padma sederhana yang seolah-olah keluar dari padma ganda.
Berdasarkan pengamatan, arca ini kemungkinan diidentifikasi sebagai Dewi Laksmi, yang merupakan salah satu perwujudan Durga yang biasanya ditempatkan pada petirtaan. Nama lain Laksmi adalah Padmasambhawa (yang lahir dari teratai mekar) atau padmesthita (yang berdiri di atas padma) (Zimmer, 1962: 91). Padma itu sendiri merupakan lambang kelahiran (Santiko, 1985: 292).
Dewi Laksmi sendiri merupakan sakti (istri) dari Dewa Wisnu. Biasanya, Dewa Wisnu digambarkan bersama dua saktinya yaitu Dewi Sri dan Dewi Laksmi. Menurut konsep, Laksmi adalah istri tertua dari Dewa Wisnu. Walaupun demikian, sangat susah dimengerti mengapa Arca Sri dan Arca Laksmi dibedakan karena sebenarnya mereka adalah satu (sama) dalam penggambarannya. Sakti-sakti Wisnu tersebut biasanya ditemui bersama Wisnu. Namun tidak jarang juga kita hanya menemui sakti tersebut saja. Bila demikian, maka kita dapat menyebut arca tersebut sebagai Arca Laksmi atau Arca Sri. (Gupte, hal.56).
Penggambaran Laksmi yang ditemui secara individual menurut konsep ikonografi India adalah bila arca tersebut bertangan empat maka ia memegang atribut cakra, sangkha bersayap, teratai dan cemara. Bila arca tersebut bertangan dua maka ia digambarkan sedang memegang sangkha bersayap dan lotus yang ditemani oleh Vidyadharas di kedua sisi. (Gupte, hal. 56). Namun berbeda dengan gaya ikonografi India, Arca Laksmi di Indonesia digambarkan dalam posisi tangan memegang payudara. Selain di Pertirtaan Dewi Sri, konsep Dewi Laksmi dalam sebuah pertirtaan, dapat di temui juga seperti di Pertirtaan Belahan, Mojokerto. Arca Laksmi tersebut digambarkan dengan posisi berdiri dan kedua tangan memegang payudara yang mengeluarkan air. Arca Laksmi ini diapit oleh dua buah jaladwara yang berbentuk padma di sebelah kanan dan kirinya. Di atas Arca Dewi Laksmi terdapat relief kala yang distilir berbentuk sulur-suluran. Gaya penggambaran kala ini adalah merupakan gaya khas kala dari masa Jawa Timur.
Di samping itu, masih terdapat dua buah kala lagi yang sudah lepas dari tempat aslinya. Saat ini kedua kala tersebut berada di depan pintu masuk bilik utama dan pada dinding utara bilik utara. Kala yang berada di dinding utara bilik utara mempunyai spesifikasi. Wajah kala digambarkan ramah (santa), bukan menyeramkan (ugra). Mempunyai rahang bawah. Kedua tangannya digambarkan lengkap dilipat ke depan seolah-olah dalam posisi tengkurap dengan kesepuluh jari di bawah dagu. Namun secara keseluruhan, bentuk rahang lengkap dan kesepuluh jari bebas dalam arti tidak mengenggam sesuatu. Tipe gaya kala seperti ini sangat menarik karena sangat jarang ditemukan di Indonesia. Satu-satunya yang sedikit banyak mendekati gaya penggambaran kala Pertirtaan Dewi Sri adalah bentuk kala pada Candi Singosari Di Malang, Jawa Timur.
Pada bagian teras, terdapat masing-masing 2 buah jaladwara yang digambarkan dengan bentuk tubuh arca laki-laki dan perempuan dalam posisi duduk bersimpuh mengapit pancuran yang menempel pada dinding sisi utara dan selatan. Kepala-kepala arca tersebut dengan alasan demi keamanan pada sekitar tahun 1994 dibawa ke kantor Balai Pelestarian Peninggalan Jawa Timur di Mojokerto karena daerah tersebut rawan pencurian. Arca-arca tersebut secara ikonografis penggambarannya sangat indah dan sempurna. Bahu digambarkan sangat sempurna, garis-garisnya tegas dan tepat. Gaya Arca Jaladwara ini sangat mirip dengan Arca Jaladwara yang ada di Pertirtaan Belahan. Pada sisi barat di kedua bilik terdapat jaladwara berbentuk makara dengan relief wanita, masing-masing bilik memiliki dua buah jaladwara. Relief wanita yang digambarkan dalam masing-masing jaladwara tersebut memiliki gaya berdiri yang berbeda-beda. Hiasan rambut dan alur-alur rambut yang sangat jelas pada relief wanita tersebut sangat bagus. Gaya relief pada jaladwara di Pertirtaan Dewi Sri ini memiliki kesamaan gaya dengan bentuk hiasan dan gaya pada relief di Pertirtaan Jolotundo, Mojokerto.
Sampai di sini, dari tinggalan arkeologis yang ditemui di pertirtaan Dewi Sri, tampak bahwa beberapa komponen pertirtaan ini memiliki persamaan dengan tinggalan arkeologis yang ada di Pertirtaan Belahan dan Pertirtaan Jolotundo, Mojokerto. Dengan demikian, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pertirtaan-pertirtaan ini kemungkinan besar memiliki keterkaitan dan dibangun dalam satu masa. Bila Candi Belahan dan Pertirtaan Jolotundo dikaitkan dengan masa pemerintahan Dharmawangsa Tguh-Airlangga pada masa abad XXI Masehi (Kinney 1997: 50-67). maka ada kemungkinan bahwa pertirtaan Dewi Sri berasal dari masa yang sama. Adapun latar belakang keagamaan ketiga tinggalan arkeologis tersebut pun sama-sama beraliran Hindu Waisnawa.
Dugaaan latar belakang sejarah pertirtaan Dewi Sri yang ditarik dari bukti-bukti arkeologisnya tersebut di atas dapat juga didukung dari temuan data-data historis lain yang ditemukan di sekitar wilayah Kabupaten Magetan. Seperti kita ketahui bersama, di wilayah Kabupaten Magetan banyak ditemukan prasasti yang berasal dari sekitar abad X Masehi. Prasasti-prasasti tersebut antara lain prasasti Kawambang Kulwan dari Maospati yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Prasasti tersebut berasal dari tahun 913 Saka atau setara dengan tahun 991 Masehi. Selain itu, di sekitar daerah ini ditemukan juga prasasti lainnya, di antaranya seperti Prasasti Taji dari Maospati, Prasasti Kledokan dari Maospati, Bulu Gledek dari Maospati, Prasasti dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Parang. Sementara itu, Hariani Santiko dalam penelitiannya di Simbatan menemukan miniatur rumah dengan angka 905 dan 917 pada bagian atapnya. Temuan ini diasumsikan oleh Hariani berangka tahun saka sehingga berasal dari 983 Masehi dan 995 Masehi (Santiko, 1985:296).
Sementara itu, masih ada beberapa temuan arkeologis yang berupa miniatur rumah dari Simbatan dan sekitarnya yang berasal dari sekitar abad X Masehi, baik yang masih in situ maupun menjadi koleksi Museum Nasional (Haryosudibyo, 1998). Salah satu miniatur rumah/lumbung padi tersebut pada bagian atapnya terdapat angka 919, dan dibaliknya terdapat relief sangkha bersayap. Angka tersebut dapat diasumsikan sebagai tahun 919 Syang setara dengan 997 M.
Terkait dengan latar belakang keagamaan pertirtaan Dewi Sri, sangkha bersayap yang terdapat pada miniatur rumah tersebut dapat menguatkan dugaan bahwa pertirtaan Dewi Sri beraliran Hindu Waisnawa. Hal tersebut dikarenakan sangkha bersayap merupakan salah satu atribut Wisnu. Selain itu, miniatur rumah/lumbung padi yang lain bertuliskan sri pala. Di dalam mitologi agama Hindu, sri pala merupakan salah satu atribut yang dipegang salah satu tangan Dewi Mahalaksmi.
(Wicaksono Dwi Nugroho, M.Hum dan Ririet Surjandari, M.Hum)
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Majalah Museum Trowulan.

1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Thursday, July 24, 2014

Nyi Pohaci Sanghyang Asri

Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
2.2. Sinopsis
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat Sunda yang menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
- Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
- Kasepuhan Banten Kidul, Desa Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten Sukabumi
- Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor
- Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten
- Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya
Upacara Seren taun merupakan upacara masyarakat agararis adalah penyerahan hasil panen yang diterima pada tahun yang akan berlalu serta salah satu media dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang telah diterima seiring dengan harapan agar dimasa yang akan datang, hasil panen seluruh anggota masyarakat dapat lebih melimpah lagi. Penyelenggaraan dimulai dengan upacara ngajayuk (menyambut) pada tanggal 18 Rayagung, kemudian dilanjutkan pada tanggal 22 Rayagung dengan upacara pembukaan padi sebagai puncak acara, dengan disertai beberapa kesenian tradisional masyarakat agraris sunda tempo dulu, seperti ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending karesmen, tari bedaya, upacara adat ngareremokeun dari masyarakat kanenes baduy, goong renteng, tari buyung, angkulung buncis doodog lonjor, reog, kacapi suling dan lain-lain yang mempunyai makna dan arti tersendiri, khususnya bagi masyarakat sunda.
2.3. Durasi
Kegiatan adat ini biasanya berlangsung selama 7 hari, rangkaian acaranya adalah sebagai berikut:
Hari ke 1, Neutepkeun
Neutepken ini dimaksud adalah memanjatkan niat agar acara Seren Taun berjalan lancar serta memohon agar kebutuhan pangan selama acara terpenuhi tanpa ada kekurangan. Upacara ritual ini dipimpin oleh Sang Rama dan Kokolot Panggiwa yang dilaksanakan di tempat pabeasan (tempat menyimpan beras) di Imah Gede. Di Pabeasan inilah dikumpulkan semua bahan-bahan makanan yang akan dimasak mulai dari bumbu dapur, sayur mayur, minuman, serta kue-kue yang akan dimakan sepanjang acara seren Taun berlangsung
Hari ke 2, Ngembang
Ngembang / nyekar/ ziarah dipimpin oleh Kokolot Panggiwa dan Panengen dilakukan ke makam sebagai leluhur warga Sindangbarang yaitu Sang Prabu Langlangbuana, Prabu Prenggong Jayadikusumah di Gunung Salak
Hari ke 3, Sawer Sudat dan Ngalage
Sunatan massal, yaitu upacara sudat (sunat) bagi anak-anak di kampung Sindang Barang, dengan berpakaian adat lengkap serta duduk di atas tandu (jampana) Acara ini dilaksanakan di alun-alun. Sebelum acara di mulai dilakukan doa yang dipimpin oleh Sang Rama untuk memberi restu terhadap perwakilan orang tua peserta sunatan massal agar acara berlangsung lancar, selamat dan mendoakan agar anak-anak yang di sudat menjadi anak yang berbakti pada orangtua, agama dan bangsa, setelah acara doa selesai anak-anak peserta sudat yang menaiki jampana di arak dan di sawer dengan kunyit, beras merah, dan panglay sambil diiringi oleh tatabuhan musik tradisional seperti reog, calung, kendang pencak dan terompet. Seusai arak-arakan anak-anak berkumpul di bale Pangriungan sambil dihibur oleh para orang tua
Hari ke 4, Sebret Kasep
Pelaksanaan sudat (sunat) di Bale Pangriungan.
Hari ke 5, Ngukuluan
Ngukuluan ini adalah mengambil air dari tujuh sumber mata air, bermula dari Imah kolot. Dilepas oleh Sang Rama kepada para kokolot dan parawari (panitia). Perjalanan mengambil air dari sumber mata air ini diiringi dengan kesenian tradisional Angklung Gubrag. Malam harinya dengan dipimpin oleh Kokolot Panggiwa air tersebut dibacakan doa-doa tolak bala
Hari ke 6, Sedekah kue, Helaran, Nugel Munding, Sedekah daging, Pertunjukan seni
Acara hari ke enam dilaksanakan pagi hari di alun-alun, diawali dengan parawari (panitia) mempersiapkan sebanyak 40 tampah yang berisi aneka kue, upacara dipimpin oleh kokolot, diawali dengan meriwayatkan sejarah leluhur Sindangbarang. Serta membacakan doa buat para leluhur . Setelah itu barulah kokolot dan para warga memperebutkan sedekah kue, dilanjutkan menuju lapangan inpres untuk memotong kerbau, sepanjang berjalanan ke lapangan inpres digelar pula helaran/pawai kesenian yang terdiri dari angklung gubrag, tujuh orang mojang, pembawa pohon hanjuang, jampana berisi air kukulu, pembawa tebu hitam, pembawa jampana daging, pembawa pohon hanjuang , para kokolot, kesenian reog, calung, kendang pencak .
Di lapangan inpres Kokolot melakukan serah terima (seren-sumeren) kepada Sang Rama untuk memimpin pelaksanakan pemotongan kerbau yang diselingi dengan bunyi lisung dan terompet, daging kerbau yang dipotong kemudian di taruh dalam 40 nyiru (tampah), setelah dilakukan doa maka daing inipun disedekahkan utnuk masyarakat
Saat malam harinya diadakan hiburan bagi masyarakat dilaksanakan di alun-alun kajeroan dan di lapangan inpres dengan menampilan kesenian tradisonal jaipong, ketuk tilu, ngagondang, angklung gubrag, kendang pencak, parebut seeng, reog,dan calung
Hari ke 7, Helaran dongdang, Majiekeun Pare, Pintonan kesenian
Persiapan oleh masayarakat sudah diawali sejak subuh, karena pagi harinya sebanyak 54 RT di kampung Sindangbarang sudah berkumpul di depan masjid Sindangbarang dengan membawa dongdang (hasil bumi) yang dihias aneka bentuk. Pawai dongdang ini dilengkapi oleh barisan pembawa Rengkong (padi) hasil panen, para kokolot, rombongan kesenian, dll. Jam 08.00 WIB rombongan bergerak menuju kampung budaya Sindangbarang untuk melaksanakan Upacara puncak yaitu Majiekeun Pare ayah dan ambu ke dalam lumbung Ratna Inten. sementara di lapangan Sang Rama sudah menunggu untuk memasukan Pare Ayah dan Ambu. Setelah memasukan padi, kemudian dongdang (hasil bumi) dibawa ke depan sang Rama untuk didoakan , setelah diberi doa maka warga akan berebut hasil bumi tersebut. Pertunjukan tarian dipersembahkan oeh muda-mudi Sindangbarang dengan diiringi gamelan. Ditampilkan pula pertunjukan gondang, reog, angklung gubrag, kendang penca dan ditutup oleh rampag parebut seeng. Malam harinya di alun-alun kajeroan pagelaran wayang golek semalam suntuk digelar.
Inti pada acaranya berlangsung sekitar 30 menit – 5 jam lamanya. Untuk yang lainnya hanya sebagai pendamping saja, tetapi tidak kalah pentingnya.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Gawai Dayak dan Sejarah Perkembangannya

Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur, salah satunya adalah dengan menggelar serangkaian upacara adat. Gawai Dayak adalah satu-satunya, upacara adat ini rutin digelar suku Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat dan telah berlangsung sejak puluhan tahun. Inti pelaksanaan upacara ini adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Jubata (Tuhan) atas panen yang melimpah, sekaligus memohon agar panen berikutnya diberi kelimpahan.

Gawai Dayak tradisional biasanya dilaksanakan selama tiga bulan oleh suku Dayak di Kalimantan, khususnya Dayak Iban dan Dayak Darat sebagai wujud syukur atas hasil panen. Ada sejumlah upacara yang harus dilakukan dalam Gawai Dayak. Upacara adat tersebut menjadi semacam rangkaian prosesi baku yang harus dilewati. Beragam makanan tradisional dan sejumlah sesaji pun tak lupa disiapkan sebagai salah satu unsur penting upacara.

Seiring perkembangan zaman dan isu kepentingan, kini upacara Gawai Dayak tradisional mengalami beberapa penyesuaian namun tetap mempertahankan unsur-unsur penting terutama urutan dan prosesi upacaranya itu sendiri. Bekerja sama dengan pemerintah daerah Gawai Dayak kini hanya digelar selama sepekan dan rutin dilaksanakan pada 20 Mei setiap tahunnya. Nama kegiatan bermuatan kepentingan budaya ini pun sekarang dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Pekan Gawai Dayak digagas berawal dari keinginan untuk saling memperkuat, mengenalkan tradisi Dayak, sekaligus sebagai ajang pelestarian tradisi leluhur. Gawai Dayak sendiri adalah upacara adat tradisional yang menjadi semacam media mempererat suku Dayak dan bagian penting dari pekan adat tersebut. Kesadaran tersebut bermula pada tahun 1986 ditandai dengan terbentuknya Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda). Sekberkesda bertugas menggelar dan mengonsep seni budaya Dayak yang kemudian menggagas pekan seni budaya yang kini dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Sejak tahun 1986, Pekan Gawai Dayak telah dilaksanakan secara terorganisir dan mendapat pendanaan dari pemerintah daerah. Disebutkan bahwa Pekan Gawai Dayak bermuatan politis karena tidak murni tradisional melainkan mengandung kepentingan pengembangan pariwisata dan bahkan kepentingan yang bersifat politis. Akan tetapi, terlepas dari itu, Pekan Gawai Dayak terbukti telah memberi dampak positif bagi pelestarian sekaligus pengembangan budaya Dayak di Kalimantan Barat. Ia menjadi semacam pemantik kecintaan terhadap budaya lokal suku Dayak yang kemudian mendorong usaha pelestarian dan promosi wisata. Pekan Gawai Dayak tentunya berpotensi sebagai kegiatan yang dari segi ekonomi akan pula memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan daerah.
Terlepas dari berbagai isu kepentingan politis, Pekan Gawai Dayak juga mendapat dukungan dari masyarakat budaya Dayak karena bagaimanapun kegiatan tersebut memiliki kepentingan pelestarian budaya lokal. Sekberkesda sendiri mendapat dukungan dari sekira 23 sanggar yang merupakan representasi kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak, Kalimantan Barat.


Prosesi Gawai Dayak Tradisional dan Pekan Gawai Dayak
Gawai Dayak tradisional adalah pelaksanaan upacara pasca panen yang meliputi serangkaian upacara adat sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas kelimpahan hasil panen. Gawai Dayak tradisional pelaksanaannya dapat memakan waktu hingga tiga bulan, yaitu biasanya pada Bulan April sampai Juni. Pelaku upacara adat akan mengenakan pakaian tradisional berikut perhiasan tradisional seperti manik orang ulu dan kerajinan perak tradisional.

Dalam upacara Gawai Dayak, terlebih dahulu akan diadakan ngampar bide atau menggelar tikar. Upacara ini hanya dan khusus digelar menjelang pelaksanaan upacara Gawai Dayak yang biasanya berlangsung di rumah Betang Panjang, rumah adat di Kalimantan Barat. Tujuannya adalah memohon kelancaran dan kemudahan selama pelaksanaan upacara Gawai Dayak. Dalam ngampar bide sendiri terdapat serangkaian tahapan pelaksanaan, yaitu nyangahathn manta’ (pelantunan doa/mantra) sebelum seluruh kelengkapan upacara disiapkan dan ngadap buis, yakni tahapan penyerahan sesaji (buis) kepada Jubata (Tuhan).

Nyangahatn manta’ terbagi menjadi tiga bagian, yaitu matik (semacam upacara pemberitahuan kepada kepada awa pama atau roh leluhur dan Jubata (Tuhan) tentang akan diadakannya upacara tersebut; ngalantekatn (memohon keselamatan bagi semua pihak pelaksanan upacara); dan mibis (semacam upacara pemurnian agar kotoran musnah). Dalam upacara nyangahatn manta, sesuai namanya, sesaji yang disiapkan biasanya adalah bahan yang belum masak atau mentah (manta).

Upacara selanjutnya disebut ngadap buis (nyangahatn masak); merupakan upacara adat puncak dari keseluruhan proses ngampar bide dimana seluruh peraga adat sudah tersedia. Pada tahapan ini, sesaji (buis) yang berupa makanan masak dipersembahkan kepada awa pama dan Jubata, sebagai wujud rasa syukur sekaligus permohonan berkat.

Ngampar bide dihadiri para tokoh Dayak yang berperan dalam menyiapkan Gawai. Mereka membahas persiapan, menyiapkan, dan tentunya melaksanakan acara inti, yaitu memohon perlindungan Jubata atas kelancaran upacara. Pada upacara penutupan akan digelar gulung bide (gulung tikar) yang menandai berakhirnya upacara.

Pekan Gawai Dayak (Gawai Dayak modern) masih melaksanakan serangkaian upacara tersebut di atas tetapi tidak memakan waktu berbulan-bulan. Sesuai namanya, upacara ini hanya dilaksanakan dalam waktu sepekan, setiap 20 Mei sebagaimana diarahkan oleh Gubernur Kalimantan Barat terdahulu, Kadarusno. Pekan adat ini tidak hanya diramaikan oleh kegiatan upacara tetapi juga beragam kegiatan seni yang melibatkan banyak kalangan masyarakat di Kalimantan.

Seminar budaya, pementasan tari tradisional yang biasanya menandai dimulainya Pekan Gawai Dayak akan pula mewarnai acara tersebut. Ada pula beragam atraksi budaya khas Dayak, termasuk ditampilkannya beberapa permainan tradisional. Ada juga beragam stand sebagai tempat menyuguhkan aneka budaya dan produk budaya khas Dayak, seperti kerajinan tangan, produk seni, dan makanan khas tradisional Dayak. Bahkan, ada pula sejumlah perlombaan yang berlangsung selama Pekan Gawai Dayak, misalnya lomba memasak masakan tradisional, dan acara menarik lain.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Tuesday, February 19, 2013

CANDI SUKUH

Candi Sukuh didirikan pada masa kerajaan Majapahit abad 15M, Yang berkuasa saat itu adalah Ratu Suhita 1429-1446 M. Candi Sukuh menghadap kearah terbenamnya Matahari dan dibangun dengan tiga teras bangunan. Setiap tingkatan teras menggambarkan tingkatan menuju kesempurnaan kehidupan. Terdapat pula relief yang melambangkan ketiga dunia. Yaitu Dunia Bawah, Dunia Tengah dan Dunia Atas. Dunia Bawah dilambangkan dengan relief Bima Suci, Dunia Tengah dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala. Sementara Dunia Atas di tasbihkan dengan relief Swargarohanaparwa. Penggambaran ketiga dunia tersebut menunjukkan tahapan yang harus dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup di Nirvana. Semuanya itu merupakan simbol menuju keabadian atau kesempurnaan yang diwujudkan melalui upacara keagamaan atau RUWAT. Ruwat adalah salah satu sarana untuk meningkatkan derajat seseorang menuju tingkatan yang lebih suci yaitu hilangnya mala dalam diri atau moksa.
Halaman ini merupakan teras paling bawah, yang terdapat gapura masuk berbentuk Paduraksa. Siapapun yang masuk ke Candi ini, diingatkan bahwa kehidupan ini tidaklah mudah. Kesulitan hidup disebabkan oleh melekatnya mala dalam diri manusia. Pahatan relief Garudeya merupakan salah satu cara mengingatkan manusia akan sulitnya kehidupan.
Di Gapura ini terdapat Sengkalan yang menandakan dibuatnya Bangunan suci ini, Sengkalan “Gaporo Buto Abang Wong” juga tertulis huruf jawa kuno = 1359 saka/1437M. Relief tersebut menggambarkan seorang manusia yang ditelan raksasa.
Halaman semi sakral, dimana umat manusia disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan melakukan upacara penyucian menggunakan air suci atau amrta, adanya relief Pande Besi menggambarkan ini. Karena pada masyarakat jawa kuno golongan ini (Pembuat Pande Besi/Empu) memiliki status khusus yang dianggap memiliki kekuatan magis, mereka mampu memberikan air bertuah yang suci = amrta.
Halaman III
Halaman sakral, dimana terdapat bangunan utama dan relief-relief yang menggambarkan sebuah cerita penggambaran kehidupan.
Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
Relief Garudeya
Menceritakan pembebasan Winata dari perbudakan Kadru oleh Garuda dengan menggunakan air amrta. Winata- Ibu Garuda – menjadi budak Kadru- ibu para naga- karena kalah bertarung tentang warna ekor kuda Ucchaisrawa yang keluar selama pengadukan lautan susu (samudramanthana)
Relief Bima Suci
Drona memerintahkan Bima mencari air kehidupan di Gunung Candradimuka, dalam perjalanan Bima bertempur dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Kedua raksasa tersebut kalah dan menjelma menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra. Kemudian Bima melanjutkan perjalanan menuju samudera dan bertemu Dewaruci. Menyatu melalui telinganya dan menemukan hakekat air penghidupan.
Relief Ramayana
Mengisahkan percintaan antara Rama dan Sinta yang menghadapi banyak ritangan. Ketika mereka mengembara, Sinta diculik oleh Rahwana, raja Alengka. Atas bantuan Laksamana dan pasukan Kera, Anoman sang pemimpin pasukan kera. (img_arwana) Rama berhasil membebaskan Sinta dan mengalahkan Rahwana. Sinta membuktikan kesuciannya dengan membakar diri hidup-hidup, seketika api berubah menjadi teratai.
Relief Swargarohanaparwa 
Menceritakan perjalanan Pandawa menuju surge setelah perang Bharatayudha. Dalam perjalanan itu Drupada meninggal terlebih dahulu, diikuti Arjuna, Sadewa, Nakula, Bima. Hanya Yudhistira yang tertinggal. Ia kemudian didatangi dewa Indra, diajak menuju surge dengan keretanya, akan tetapi Yudhistira menolak kecuali dengan anjingnya boleeh ikut serta. Sesampainya disurga Yudhistira melihat Kurawa dalam kesenangan dan Pandawa dalam Kesengsaraan. Ia memilih bergabung dengan saudaranya. Seketika tempat tersebut menjadi surga.
Relief Bima
Menggambarkan Bima yang sedang membunuh raksasa dan terdapat tulisan dalam huruf kawi ‘pedamel rikang buku tirta sunya’ = 1361 Saka (1439 M).
- Samuderamanthana
Pengadukan lautan susu yang dilakukanoleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan air kehidupan/ amrta. Pengadukan tersebut mengunakan Gunung Mandara dengan Naga Besuki sebagai pemutarnya,kura-kura Akupa yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu menyelam ke dasar laut menjadi pondasi agar gunung mandara tidak tenggelam.
Pada teras ketiga, terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab ca...Lihat Selengkapnya
Relief & Arca Perlambang Kehidupan Pria dan Wanita

1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Monday, February 11, 2013

MAMPIR NGOMBE

terminology jawa : di dunia ini hidup adalah "mampir ngombe" (mampir untuk sekedar melepas dahaga) menggambarkan bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan yang sangat sementara sekedar minum namun meski hanya mampir tetap ada tugas dan sesuatu yg harus dijalankan selama mampir ini, jadi tujuan hidupnya bukan di dunia itu ... lalu ?

PERJALANAN DAN TUJUAN
sebagaimana orang yang menempuh perjalanan kita mempersiapkan segala sesuatu. bekal, kendaraan, baju2 ganti mungkin peta. kemana tujuan perjalanan manusia dalam terminilogy jawa juga dikenal "Bali mring Kasunyatan ing alam kelanggengan" kembali pada Kasunyatan di alam keabadian ya tak lain "sangkan paraning samubarang dumadi" asal dan tujuan segala makhluk. makhluk hidup maupun tak hidup. hidup dan tak hidup dlm termonology umum ini mengacu pada ilmu hayat, ilmu pengetahuan alam, atau ilmu biology dimana yang disebut hidup memiliki ciri2 bernafas, berkembang biak dsb. namun sebenarnya semua juga menempuh perjalanan baik yg disebut hidup atau tak hidup sekalipun... dari tidak ada kembali ke tidak ada karna sejatinya kita ini juga TIDAK ADA. dan tak ada apapun ... apapun ... selain YANG AWAL dan YANG AKHIR ya YANG SEJATI itu sendiri yang tak dapat digolongkan sebagai sesuatu. kalau sekarang dalam tulisan ini disebut seperti rangkaian huruf di atas itu YANG SEJATI biar kita lebih mudah memahami, semoga ketemu pengetahuan yg berguna. mau disebut TUHAN mau disebut GUSTI mau disebut ALLAH, NIBBANA, JAH atau disebut apapun monggo semoga panjenengan menemukan tujuan yang dimaksud SANGKAN PARANING SAMUBARANG DUMADI.
sebuah perjalanan bepergian untuk mudahnya dibayangkan ada sebuah rumah yang kita tuju. di sebuah kota yg jauh, di jalan kita kadang berhenti di rumah yg lain untuk minum mungkin sekali mungkin berkali kali tergantung bagaimana route perjalanan kita ya tak lain jalan hidup setiap orang yg setiap orang tidak sama. kita bisa menambah bekal di tiap persinggahan. sepanjang perjalanan mungkin kita ditolong dan mungkin juga kita berkesempatan menolong orang lain. setidaknya kita mestinya bisa mengurus diri sendiri jangan sampai memberatkan orang lain.

PERBEKALAN
kita juga dijamu dengan makanan dan minuman kita bisa bergaul dan bertemu orang2 lain yang sama2 mampir. semua orang sudah disediakan jatah makan minum oleh yang punya rumah tapi jika kita punya cukup sisa bekal bisa juga membeli dari orang sesama penjalan yg punya sesuatu berlebih. kalau kita banyak modal juga bisa berdagang. tapi jangan keasyikan dengan tempat mampir ini tujuan kita adalah bertemu Yang Maha Berpunya yang memiliki tempat mampir ini juga tapi tak mudah mungkin beliau sedang tidak di rumah ini mungkin sedang tidak ingin menerima tamu, banyak kemungkinan. bekal, sarana peralatan, kendaraan, baju semua itu hanya kita perlukan selama menempuh perjalanan. terlalu banyak bekal juga jadi berat dan sulit bergerak, harus mengurusi bekal malah urusan yg utama terlupakan.

TUAN RUMAH suatu saat nanti kalau mau ketemu Yang Punya Rumah semua bekal harus diletakkan tak perlu pikiran kita terbagi lagi karna diberi kesempatan untuk bertemu semua yang lain jadi tidak penting, masuk ke ruangnya alas kaki harus di lepas, jaket dan semua kita haros benar2 polos dan bersih tak ada apapun yang dapat kita pamerkan untuk mengambil hatiNya.
jika sudah demikian dekat tujuan ataupun tempat mampir minum bekal2 kita mungkin sudah habis kita pakai mungkin ada yg tersisa tapi kalau dapat janji bertemu tuan rumah di depan pintu kamarnya kita harus letakkan juga bersama tas juga sandal atau sepatu kita lepas. baju jaket dan bawaan2 lain akan dilepas untuk masuk dan bertemu tuan rumah. tapi belum tentu kita langsung bertemu yang punya rumah.
dan kita tak memerlukan apa2 untuk bertemu yang punya rumah ini. karena yang punya rumah adalah Yang Maha Kaya, Yang Maha Pemberi dan segalanya. jika kita bisa bertemu kita mungkin diberi tahu "memang di sinilah tempat tujuanmu" atau diberi tahu "kamu harus meneruskan perjalanan ke "anu" untuk melakukan "anu"" diberi tugas, atau malah kita tak sempat diterima oleh yg punya rumah atau malah ada sesama orang mampir yang mengaku ngaku sebagai yg punya rumah atau mengaku bisa mempertemukan memanfaatkan kita, kita harus pandai2 dan mengenal sifat2 dan ciri2 Yang Maha Berpunya itu. belum tentu yang banyak dibicarakan orang adalah benar2 yang punya rumah, mungkin hanya orang mampir yg punya banyak teman. apakah kita sudah tahu kita sampai di tujuan akhir atau hanya tempat mampir minum, sebelum bertemu yang punya rumah kita tak tahu.

MAMPIR DI PERSINGGAHAN
di setiap tempat mampir minum kita bertemu orang lain kita bergaul berkenalan bertukar pengetahuan bertukar pengalaman. juga bertemu orang2 yang suka mengganggu, suka mengambil milik orang lain, suka membohongi dsb.
bagaimanapun kita wajib untuk menjaga perilaku kita. kita hanya singgah dan berada di situ hanya sementara kalau sudah waktunya kita harus pergi apapun kalau bukan milik kita kalau bukan diberikan ke kita tak boleh kita bawa dan memang tak bisa. apa sopan, apa nggak malah memalukan pas waktunya pergi kita masih memegangi sesuatu yg bukan milik kita kita tarik keluar tak bisa kita jadi perhatian orang dilihat orang banyak malah mungkin ada satpam yg harus melakukan tindakan agar kita melepas pegangan ke benda yg bukan milik kita itu. belum lagi setelah diseret keluar digebukin karna banyak bikin masalah dan merugikan orang lain. kalau memang kepunyaan kita meski tertinggal di pintu gerbang nanti juga ada yg memberitahu menyusulkan atau memberi tahu "pak nanti kepunyaan bapak akan disusulkan di tempat mampir berikutnya". semakin baik tingkah laku kita selama di persinggahan semakin baik pula perlakuan para penjaga dan pegawai di tempat2 persinggahan berikutnya meski tetap saja kalau belum waktunya kita ketemu yang punya rumah ya tetap belum bisa ketemu. dimanapun kita selalu NGUNDHUH UWOHING PAKARTI.
meski begitu tiap kali mampir kita harus menjalankan tugas, yaitu tugas yg harus dijalankan di tiap tempat mampir. kita harus menjaga tempat yg diberikan kepada kita merawatnya syukur2 kita bisa berkarya dan membuatnya lebih baik dari sebelumnya. lebih baik lagi kalau itu juga berdampak lebih luas semua yg mampir bersama kita ikut merasakan dan kalau kita pergi kita meninggalkan jejak yg baik, karya kita yg berguna bagi orang2 yg mampir setelah kita pergi. yg dalam terminologi Jawa disebut dengan istilah MEMAYU HAYUNING BAWANA.
ada juga kalanya kita ketemu tamu lain sesama penempuh perjalanan orang yang jahat entah apa perkaranya entah ia ingin memiliki apa yg kita bawa entah memang suka pertengkaran kadang orang seperti itu berbuat melebihi batas melakukan hal nekat hingga kita terusir keluar sebelum waktunya entah dengan jalan apapun walau secara paksa para petugas bukan membiarkan tapi mengamati saja toh nanti juga ia harus lewat gerbang sebelum terpaksa meneruskan perjalanan. bisa diberi tahu "sudahlah pak nanti barang2 bapak akan disusulkan ke tempat mampir berikutnya silahkan terus saja tak apa kok" yah terpaksa pergi meski dengan bekal minim, harus meninggalkan teman, kenalan dan orang2 yg kita sayangi dan menyayangi kita meski tahu mereka juga sedih menangisi kepergian kita. nanti di tempat persinggahan berikutnya di gerbang kita juga suda dikenali oleh para petugasnya "Ah... bapak sudah ditunggu teman2 bapak di sana milik bapak nanti juga akan kami antar ke sana, tolong pak nanti dekati si "anu" tugas bapak menolong dia kali ini" lalu kita masuk dan bergabung di tempat persinggahan yg suasananya berbeda dengan di tempat sebelumnya.
tanpa kita tahu sebenarnya petugas selalu mengawasi dan mengikuti kalau kita tak suka bertingkah berlebihan, walau kita kadang jadi korban kejahatan oleh pengunjung yang lain, meski solah kita tak ditolong tapi kita selalu dijaga. apalagi kalau kita punya tugas yg harus dilakukan.
akhirnya kita ketemu si "anu" yg dipesankan petugas di gerbang tadi ... oh rupanya cantik juga nih... dan kita ditugaskan menolongnya ... menolong apa ? sambil terus meneruskan kita juga akan tahu tugas kita harus menolong si "anu" dalam hal apa. dan kitapun harus berusaha melakukan sebaik baiknya. sesekali ada penjaga menyusulkan "pak ini rokok bapak yg dulu tertinggal di persinggahan yg dulu, tadi ada yg mengantar" wah sampai barang2 kecilpun nggak hilang.

PERPISAHAN
sampai datang saatnya kita harus pergi saat semua tugas sudah selesai dilakukan dan kita sudah tahu waktunya tak lama lagi. kita pamitan pada si "anu" kita harus berpisah dan juga pendatang2 baru yg ikut bersama kita. tolong jaga ibu"anu" sudah waktunya aku harus pergi. lalu kita menyingkir ke sudut ke tempat kasir berapa yg harus kita bayar, tadi makan apa saja, kita mau bawa apa saja untuk bekal di jalan, kerusakan apa yg tak sengaja kita lakukan bayar lunas deh... eh ternyata ada juga imbalan untuk hal2 kecil yg kita lakukan lumayan juga total2 malah untung. keluar rumah menuju gerbang untuk melapor sambil menyapa para penjaga gerbang ada pesanan2 dan barang2 kita yg dulu tertinggal ternyata sudah menunggu jadinya ya kita bawa deh naik kendaraan meneruskan perjalanan.
dan hidup ini tak lebih sebuah perjalanan,
yang panjang dan tak tahu kapan berakhir.
namun kita tahu pasti akan ada akhirnya
tapi jika kita sudah tahu akhir itu
artinya kita sudah atau segera sampai di sana
kalau sudah seperti itu kemungkinan besar
aku tak dapat dan tak akan cerita seperti ini.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......