A. Prawacana
Dimensi
ruang, waktu dan budaya masa lalu dalam dinamika dan perspektif
sejarah, senantiasa memiliki kaitan erat dengan tokoh, manusia dan
kemanusiaannya. Ini antara lain disebabkan bahwa dalam sejarah bidang
apa pun, manusia tetap menjadi tema sentral kajian dan pengungkapan
sejarah.
Manusia sebagai subyek sejarah, tentunya memiliki
konsekuensi bahwa setiap kupasan tentangnya senantiasa pula memiliki
subyektivitas, sekali pun upaya-upaya pengungkapannya diusakan untuk
menjadi obyektivitas secara maksimal. Tokoh, manusia dengan kemanu-
siaannya, antara lain dapat ditelaah dan dimengerti melalui
peninggalan-peninggalan berupa benda, baik sebagai pembuktian langsung
maupun tidak langsung. Subyektif sejarah itu muncul, sebagaimana diakui
oleh Mr. A.K. Pringgodigdo:
" . . . barangkali akan terlihat
pula bahwa yang menulis adalah anak bangsa Indonesia dan barang kali
terdapat pula dalam buku ini satu dua pemandangan atau kesimpulan dari
penulis yang sangat bergandengan dengan haluannya sendiri, . . ."
(1949: 13).
Subyektivitas sejarah itu muncul pula, sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Noegroho Soesanto:
"
. . . Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian
manusia, karenannya tidak memiliki realitas obyektif, melainkan hanya
merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata di masa lampau
(1974:IV). Subyektivitas itu pulalah yang menyebabkan terjadinya
perbedaan visi, misalnya, Belanda menyatakan Pangeran Diponegoro
sebagai pemberontak, sebaliknya, para sejarawan dan rakyat Indonesia
dengan kacamata nasionalnya menganggap Pangeran Diponegoro sebagai
pahlawan dan pejuang (1987:47).
Prof Dr. Haryati Soebadio mengingatkan dengan tegas, bahwa:
"Sejarah
apa pun dan di kawasan mana pun di dunia ini penuh dengan peristiwa
yang di satu sisi bisa menimbulkan aneka macam lagenda dan bahkan
mitos, sedangkan di sisi lain bisa seketika terlupakan karena memang
selamanya pasang surut, masa keemasan di samping masa pergolakan dan
bahkan kemusnahan." (1991 a: 69).
karena itu ia sekali lagi menggarisbawahi agar:
" . . . sejarawan perlu mawas diri, supaya ia tetap menjaga integritasnya
sebagai peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai ilmiawan tidak diharapkan
memberi tafsiran yang melanggar etika ilmiyahnya. Ia mutlak harus mampu
menghadapi sekalian peristiwa dan kejadian-kejadian di sekitarnya
dengan sikap seobyektif mungkin dan serasional mungkin . . ." (1991 b:
7-8).
Namun demikian, kita tetap menyadari arti penting
kajian sejarah be- serta peninggalan/warisan budaya masa lalu atau
dikenal dewasa ini de-ngan istilah benda cagar budaya. Di dalam
penjelasan Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,
Presiden Soeharto menegaskan bahwa :
"Benda cagar budaya
mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk
rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa."
Maka
sesungguhnya, makna sejarah diakui penting dan karenanya diperlukan.
Memang diakui seringkali terjadi terdapat kesenjangan interpretatif
antara sejarah sebagai peristiwa maupun sejarah sebagai kisah, atau
dengan perkataan lain memang terdapat perbedaan nuansa antara sejarah
yang benar-benar terjadi dan sejarah sebagaimana diceritakan. Tetapi
yang penting, para sejarahwan dan masyarakat pemakai informasi
kesejarahan, menyadari dan menghindari segala kemungkinan penyusunan sejarah yang sebaiknya, karena itu akan berarti sebagai penipuan sejarah.
Bagaimana
pun, sejarah senantiasa memiliki perspektif masa depan, dan karena itu
tidak ada alasan untuk bersikap pesimistik. Peryataan G.J. Reiner yang
sungguh membesarkan hati :
" . . . it is better, therefore, far
better, that he should confess, to himself and to his readers, the
nature of his approach, display his bias . . ." (1961: 174)
Keterbukaan sikap tersebut jelas amat diperlukan, mengingat bahwa:
"Reality
is not 'rational' or 'realistic' in the sense that everything which
exists or happens is logical or necessary or explicable, most of it is
surprising, fantastic and improbable . . ." (Marc Bloch, 1954).
Dalam
kajian ilmu sejarah sedikitnya terdapat dua teori kebenaran yang pada
umumnya memiliki relevansi terhadap pengujian kebenaran fakta sejarah,
yakni apa yang biasa disebut dengan teori kebenaran korespondensi
(correspondance theory of truth) dan teori kebenaran kohe-rensi (coherence theory of truth) (WH Walsh, 1970: 74-75).
Walsh
menyatakan bahwa teori korespondensi mengacu pada: se-suatu itu
(pernyataan) benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya (yakni
apa yang benar-benar telah terjadi). Sementara itu teori koherensi
menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila cocok
(coherence) dengan pernyataan- peryataan lain yang pernah
diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.
Ilmu sejarah
berusaha menerangkan masa lampau, keterangan se-jarah adalah keterangan
sejarah jika hanya bertautan dan berkaitan kuat pada bukti-bukti
sejarah. Bukti-bukti sejarah terdiri dari berbagai ragam, mulai dari
segala jenis dokumen, arsip, peta kuno, silsilah, mata uang, prasasti,
pada berbagai media (termasuk nisan), peralatan, pemukiman kuno,
pelabuhan kuno, sisa-sisa pertahanan/perbentengan, sisa bangun-an,
teknologi, natulasi, dan sebagainya.
Para sejarawan juga diminta
perhatiannya terhadap berbagai sumber, seperti berita perjalanan,
catatan harian, hikayat, tambo, legende dan sebagainya, karena sekali
pun sebagian dari sumber-sumber itu meng-alami reduksi mau pun imbuhan,
secara keseluruhan mengandung fakta sejarah tentang sesuatu peristiwa,
gejala, atau sesuatu hal. Transformasi data dan keutuhannya
dipengaruhi oleh perjalanan waktu, perubahan persepsi serta proses
pewarisannya.
Karena itulah dalam penyusunan dokumen
historica ini, khususnya ketika pembahasan menyentuh para tokoh, akan
dihindari sedapat mungkin berbagai penafsiran yang subyektif meski pun
tidak mungkin 100 %. Salah satu misal, kehebatan sesuatu pertempuran
akan diukur melalui jumlah pasukan yang terlibat, taktik dan strategi
yang digunakan, teknologi peralatan, lama pertempuran, jumlah korban
atau kerusakan dan sebagainya. Bukan pula dengan dramatisasi berlebihan
mengarah pada retorika.
Mengenai kebenaran, dalam penulisan
dokumenta historika sepenuhnya diserahkan kepada khalayak pembaca.
Apabila sesuatu sumber berasal dari tradisi lisan, akan disebut tetap
sebagai tradisi lisan, tetapi sebaliknya pula, apabila sesuatu sumber
memang berasal/merupakan dokumen yang otentik, juga akan disebut
sebagai dokumen otentik yang telah teruji kebenarannya. Kisah sejarah
Pangeran Astapati mau pun Raden Cakradiningrat pun tak lepas dari
sikap dan disiplin serupa.
Kembali pada tujuan penulisan
dokumenta historika ini, tak sekedar untuk mencoba membina ulang satu
pohon genealogi, dan jauh dari segala prasangka dan dramatisasi peran
atau kedudukan para tokoh yang kebetulan ada di dalamnya. Peranan para
tokoh, jika pun ada, hanya akan disebutkan jabatan formal, misalnya
residen, regent, wedana, asisten wedana, demang, kontrolir, polisi praja
dan sebagainya.
B. Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati
Kehadiran
sosok tokoh Pangeran Astapati dalam konteks sejarah kesultanan/daulah
Islam Banten, berada pada bentang waktu masa sultan Banten ke-VI.
Benteng waktu mana penuh dengan konflik serta intrik istana atau
kalangan pucuk pemerintahan, yakni masa pemerintahan Sultan 'Abun Nasr
'Abdul Kahhar Sultan Haji yang memerintah dari tahun 1672 - 1687
(Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, 1990: 162).
Sultan Haji
adalah anak kandung sulung Sultan Ageng Tirtayasa 'Abul Fath 'Abdul
Fattah yang memerintah dari tahun 1651 - 1672. Dari keempat istrinya
Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai 27 anak (putera dan puteri), di mana
sesuai dengan kebiasaan dalam tata pemerintahan, beliau mengangkat
putra pertamanya menjadi "Putra Mahkota". Jabatan ini biasanya
dikaitkan sebagai Mangkubumi Pembantu atau Mangkubumi Kedua dalam
struktur pemerintahan (Husein Djajadiningrat, 1983: 208). Wewenang Putra
Mahkota cukup besar, mengingat setiap keputusan kerajaan, merupakan
hasil musyawarah antara Sultan, Mangkubumi dan Putra Mahkota. Karena
itu pula maka lazim Putra
Mahkota mempunyai pembantu-pembantu sendiri.
Pengangkatan
Pangeran Gusti menjadi Putra Mahkota ini terjadi pada tanggal 16
Pebruari 1671 bertepatan dengan datangnya surat dari Syarif Mekkah yang
isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti berhak menyandang gelar Sultan
Abun 'Nasr Abdul Kahhar, yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji.
Sultan Haji diberi wewenang mengatur seluruh urusan dalam negeri
(internal affairs), sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa berwenang mengatur
seluruh urusan luar negeri (external affairs).
Kronologi
serta dimensi situasional Banten pada waktu itu, mungkin dapat diurut
dalam proposisi-proposisi sebagai berikut (Halwany Microb dan Mudjahid
Chudari, 1990: 106-107).:
1. Sultan Abulfath Abdul Fattah atau
Sultan Ageng Tirtayasa terkenal sebagai salah seorang sultan Banten
yang amat anti Belanda, karena itu ia membangun istana kedua di front depan,
yakni di desa Tirtayasa, desa terdekat untuk menyerang Belanda di
front Tangerang dan Angke. Karena itu Sultan ini, kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa;
2. Keberadaan
Sultan di Tirtayasa meninggalkan Surosowan sebagai pusat administrasi
kesultanan Banten, dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk
mengadu-domba dan memecah-belah elite kerajaan, yang justru
memperhadapkan Sultan dan Pangeran Purbaya (putera kedua) di satu pihak
dengan Sultan Haji beserta pengikutnya yang berbasis di Surosowan.
3.
Kompeni Belanda menghasut Sultan Haji (Putra Mahkota), ketika
sekembalinya ia dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah, mendapati
keadaan di mana Pangeran Purbaya yang mempunyai sikap/watak jauh lebih
baik dari pada kakaknya, akhirnya Sultan haji lebih percaya kepada
Kompeni Belanda yang dianggapnya sebagai kawan sejati, daripada
lingkungan keluarga dekat/istana yang ia anggap memusuhinya.
4.
Persahabatan antara Sultan Haji dan Kompeni Belanda sampai pada tahap
yang menghabiskan kesabaran Sultan Ageng antara lain de-ngan
tindakan-tindakannya:
a. memasukkan satuan tentara Kompeni sebagai pasukan tambahan di Surosowan;
b.
mengirimkan utusan ke Batavia yang memberitahukan pada VOC bahwa yang
berkuasa di Banten-Surosowan pada saat itu adalah dirinya (Sultan Haji)
dan bukan lagi ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa);
c.
mengirimkan ucapan selamat kepada Speelman atas diangkatnya yang
bersangkutan sebagai Gubernur Jendral VOC di Batavia, padahal Kompeni
baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon sehingga
Kompeni dapat menguasai Cirebon keseluruhannya.
Hal-hal
tersebut semakin memperuncing keadaan dan terbelahnya kekuatan
politik-militer pribumi Banten dalam berhadapan dengan Kompeni Belanda,
yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan Banten. Sikap
politik Sultan Haji tersebut kemudian berbuntut dengan:
1. Penyerbuan Sultan Ageng ke Surosowan yang berakibat dapat didukinya Surosowan,
2. Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC.
3.
Bantuan VOC terdiri dari pasukan-pasukan: (a) yang dipimpin Kapten
Francois Tack dan pasukan Saint Martin menyerbu dari arah Teluk Banten,
sedangkan (b) pasukan darat 1000 orang yang dipimpin Kapten Hartsinck
dari Batavia menyerang Tangerang, sehingga Tirtayasa dapat diserang
dari arah Banten mau pun Tangerang.
Peperangan yang memakan waktu
panjang dan jatuhnya korban jiwa serta kerusakan di kedua belah pihak
dalam jumlah yang amat besar, melalui siasat yang amat licik, akhirnya
peperangan dapat dihentikan dengan dapat ditangkapnya serta
dipenjarakannya Sultan ageng Tirtayasa pada tanggal 14 Maret 1683.
Sebagaimana diketahui awal penyerbuan VOC adalah pada tanggal 6 Maret
1682, berarti lama peperangan ±1 tahun.
Dalam keadaan terbelah,
maka tentu saja kedua belah pihak, yakni Sultan Ageng Tirtayasa dan
Sultan Haji (ayah dan anak) memiliki pasukan dan panglima perang yang
andal. Menurut tradisi Pangeran Astapati diketahui sebagai panglima
perang Sultan Banten yang ke- 6 adalah Sultan Abu'n Nasr Abdul Kahar
gelar Sultan Haji.
C. Identifikasi Pangeran Astapati
Menurut
tradisi, Pangeran Astapati adalah salah satu panglima perang Banten
pada masa pemerintahan sultan Banten ke-6, berasal dari Baduy. Untuk
menelusuri identifikasi tokoh Pangeran Astapati ini, maka akan dikaji
hubungan-hubungan antara (1) Baduy dengan Banten, dan (2) Pangeran
Astapati dengan Banten dan Baduy. Kajian tentu didasarkan pada :
1. sejarah tutur (oral history), dan
2. pendekatan sumber tulisan (written evident approach) baik dari produk sastra (serat, kidung, wawacan dan lain-lain) maupun "ceritera" sejarah yang pernah ditulis.
Penduduk Baduy yang berbahasa Sunda ini, menamakan dirinya sebagai orang Kanekes, sedangkan istilah Baduy adalah sebutan orang luar yang justru tidak disenangi oleh orang Kanikes itu sendiri. Nama Kanekes
berasal dari nama Sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu. Selain
itu nama orang Kanekes biasa pula menamakan dirinya orang Rawayan. Nama ini berasal dari nama sebuah Sungai Cirawayan, dekat kampung Cikeusik di daerah Baduy Dalam (Nurhadi Rangkuti, 1987: 21-22).
Mengenai hubungan Baduy dengan Banten, dapat ditelusuri dari berbagai sumber naskah kuno seperti: Cariosan Prabu Silihwangi, serta sejarah tutur (oral history) atau yang kemudian dikembangkan sebagai life histories approach (Yudistira Garna, 1991: 73-74).
Banyak
orang beranggapan bahwa orang Baduy adalah keturunan orang pelarian
dari Pajajaran ketika kerajaan itu jatuh ke tangan
pe-nguasa-penguasa/kerajaan pantai yang beragama Islam, kemudian
orang-orang yang lari itu tidak mau masuk/beralih ke agama Islam.
Menurut kajian N.J.C. Geise (1991; 70), berdasarkan Cariosan Prabu Silihwangi (CPS), dinyatakan bahwa Prabu Silihwangi mengadakan hubungan persekutuan dengan tujuh raja, yaitu Raja Ponggang, Singapura, Sumedang, Kawali, Panjalu, Pekalongan dan Blambangan (N.J.C. Geise, 1952: 204). Nama Sultan Banten tidaklah disebut.
Berdasarkan rekaman tutur Jaro Sarpin yang pada waktu wawancara dilakukan berfungsi sebagai Jaro Gupernemen
(penghubung antara masyarakat Baduy dengan Gupernemen mana saja),
dapat diamati me-ngenai pandangan orang Baduy sendiri mengenai diri
mereka sendiri (inward looking), seperti berikut ini:
"Bulan
Kawalu, Bulan Karuhun, wangatua urang, paradalam Prabu Siliwangi asup
jadi urang Pakuan, nya eta maung. Dipenta ku Jaro kaselametan. Bisa
ngarekakeun jelema, manehna ngarupakeun jelema ngajagi, ngaraksa
umat-umat Jaro, lamun puasa, titipan urang Pakuan, geus ku Jaro
pantangan sagala rupa geh, sabab dipenta-penta kasalametan tina karuhun
tea. Diurus dina bulan Kawalu, di tanggal delapan belas. Hayang cunduk
cimarang aturan, cimereng micara, anak umat-umat, anak putu-putu
sakbeh, anak putu Kanjeng Nabi Muhammad sakabeh, bangsa Cina, Blanda,
supaya jajakertana, jauh belahina, salamet dirina, jajaperangna, parek
rejekina" (Geise, 1991: 70-71).
dari self-identification
tersebut, nampak jelas bahwa dalam sikap kandang orang Baduy hanya
terdapat dua tatanan masyarakat, yakni: Baduy dan non Baduy. Pengetahuan
mereka mengenai struktur/tatanan non-Baduy amat terbatas, seperti yang
mereka katakan:
"Pulau Banten jeung negara telung puluh, salawe pancanegara, sakolong langit, satangkarak lemah"
yang semuanya itu:
"Tangtu Tilu anu ngurusan, Jaro dangka anu napaan."
selain itu, betapa lugas sikap mereka:
"Jelema Kanekes tara takluk ka Gupernemen."
Dari
rekaman sikap-sikap orang Baduy tersebut di atas, tampak bahwa Prabu
Silihwangi beserta rakyat dan tatanannya bukan merupakan acuan dari
masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy memiliki hubungan yang jauh lebih
dekat terhadap Ratu Banten seperti yang dituturkan oleh Ki Jalceu pada
sekitar tahun 1982, yang menyatakan sikapnya sehubungan dengan
hilangnya satu benda pusaka mereka. Ia menyatakan:
"Ayeuna
teh usum halodo panjang, naha winduan atawa seuseulan ? Ceuk kami mah
seuseulan, sebab Sangiang Pakombaan, nyaeta tutunggangan Ratu, nu kudu
dijaga ku katurunan Puun, leungit. Sangiang Pakombaan teh kapan
tutunggangan atawa titipan Ratu Banten, ratu urang sarerea
Tapi bukan berarti Baduy di bawah Banten, sedangkan hubungannya dengan Siliwangi, dikatakan Ki Jalceu sebagai berikut:
"Siliwangi
di kami euweuh tuturunananan. Da turunan Siliwangi mah aya di Bogor.
Jang kami urang Baduy, ngasuh ratu ngayak menak. Menak mah nyaeta anu
ulung-ulung, anu ngaraksa nagara. Di kami mah euweuh menak. Namun para
Dalem mah aya." (Yudistira Garna, 1991: 76-77).
Dari uraian terakhir, nampak inward-looking orang Baduy pada dasarnya :
1. Orang Baduy atau orang Kenakes atau orang Gejeboh atau orang Kaduketug,
memiliki hakekat pengetahuan tentang dunia luar, yang yang berkaitan
dengan pembagian tugas bagi orang Baduy sebagai keturunan Karuhun untuk memelihara kelestarian kehidupan termasuk "mengayomi" Ratu Banten.
2. Namun demikian Ratu Banten bukan penguasa Baduy, dan raja-raja Silihwangi bukan karuhun orang Banten.
Selain
itu, ada pula ceritera-ceritera yang terutama diketahui oleh
tokoh-tokoh masyarakat Baduy tentang riwayat Ratu Banten, yang bersama
pengiringnya meninggalkan Banten, memudiki Ciujung dan akhirnya sampai
di daerah sekitar mata air Ciujung di Pegunungan Kendeng, selenjutnya
menetap disana. Mereka itulah nenek moyang orang Baduy. Di desa Kanekes
terdapat sebuah kampung yang penduduknya beragama Islam, yaitu di
kampung Cikakal Girang (Kodrat Subagio, 1976).
Pangeran
Astapati dipercayai sebagai salah seorang pemimpin perang Sultan Banten
ke-6 yang berasal dari Baduy. Menurut tradisi lisan, sesuai yang
dituturkan oleh para keturunan Pangeran Astapati dan juga juru kunci
makam Pangeran Astapati di Odel. Disebutkan dalam tradisi sejarah tutur
tersebut, bermula dari Sanghyang Tunggal adalah Ratu
Sunda/Parahyangan, yang berputera: (1) Batara Cikal (yang meninggal
semasa berusia muda), dan (2) Batara Patanjala (yang memerintah di
Baduy, sedangkan putera ke-3, 4, 5 yang namanya tidak disebutkan,
diperintahkan untuk memerintah di "salawe (25) nagara", termasuk di daerah Sunda, Priangan dan pulau-pulau kecil di sekitar Sunda/Priangan.
Dalam
ingatan para pewaris Pangeran Astapati itu, disebut-sebut pula
mengenai Banten merupakan pusat, sesuatu negara besar yang penuh dengan
keramat. Batara Patanjala berputra antara lain Batara Bungsu yang
ditugaskan melanjutkan pemerintahan di Baduy. Selanjutnya, salah
seorang putera Batara Bungsu, yakni Ksatria Ki Dukun Putil yang juga
berpangkat sebagai "Girang Pu'un" berkedudukan di Cikatarwana,
merupakan putra yang diserahi untuk mengurus pengaturan, kemakmuran,
keadilan dan keamanan "negara' Baduy.
Dukun Putil ini juga
mempunyai beberapa anak, yang salah satu di antaranya tidak merasa
puas terhadap tradisi hidup di Baduy, jiwanya menolak adat istiadat
serta kebiasaan di Baduy, yakni putra yang bernama Raden Wirasuta.
Pada
saat yang sama, Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa
- 'Abulfath 'Abdul Fattah, Sultan Banten ke-6, ayah dari Sultan 'Abun
Nasr 'Abdul Kahhar atau Sultan Haji, yang kemudian menjadi sultan banten
yang ke-7.
Beranjak dewasa Raden Wirasuta datang ke
Keraton Surosowan, diterima sebagai bujang yang bertugas mencuci, di
dapur, membersihkan pekarangan dan mengurus kuda. Dengan pekerjaannya
itu, Raden Wirasuta menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Sultan,
sehingga ia diangkat menjadi prajurit, lantas dinikahkan dengan salah
seorang puteri Sultan (Ratu Dahlia), diangkat menjadi menteri negara
merangkap sebagai panglima perang.
Dalam naskah Sajarah Banten Rante-rante,
pupuh LXIII, antara lain disebutkan pula bahwa Pangeran Wirasuta
(Raden Wirasuta), merupakan salah seorang Panglima yang dipercayai
Sultan untuk menghadapi serangan armada kapal perang Belanda dari arah
teluk Banten. Untuk sejumlah meriam dipersiapkan untuk menembaki kapal
dari arah kota Surosowan. Meriam-meriam itu diatur dan dipercayakan
kepada beberapa panglima, yaitu meriam-meriam: Jaka Tua kepada Pangeran
Papatih, Jaka Pekik kepada Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran
Wetan, Muntab kepada Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran
Wirasuta . . . (Husein Djajadiningrat, 1983: 76).
Pada
waktu meng-Islam-kan Sriwijaya, dan setelah beres kembali ke Banten, di
tengah laut selepas Lampung, Pangeran Wirasuta diserang secara
pengecut (di-dodoho atau dibokong) oleh Ratu Dorah Putih, yang
mengakibatkan luka parah (putus?) lengannya.
Tak lama setelah tiba di Surosowan Pangeran Wirasuta wafat, dimakamkan di Kasemen, dengan gelar Pangeran Astapati. Keramat makam/pesareannya kemudian hari menjadi makam keluarga keturunan para bangsawan Lebak Parahyang, dan tumbuhnya Amanat Karuhun yang berbunyi:
"Turunan atawa teureuk menak Lebak Parahyang teu menang nikah ka urang Palembang eujeung Lampung."
Pada
dasarnya amanat karuhun tersebut memantangkan/melarang keturunan Menak
Lebak Parahyang untuk menikah/kawin dengan orang Palembang atau
Lampung.
Pangeran Astapati atau Raden Wirasuta Akmaldiningrat mempunyai anak:
1. Ki Ngabehi bahu Pringga (Patih Darus)
2. Ki Anab
3. Nyai Dariah
4. Kiai Gantang
5. Nyai Andil
(pada
keadaan sekarang, makam-makam anak ke-1, 2, 3 itu berjajar, sedangkan
Kiai Gantang di bawah pohon santigi, dan Nyai Andil di dekat Urut Situ
di Pasir Waluh, Lebak).
Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih
Darus) menurunkan putera-putera ada yang menjadi ulama ksatria, santana
(menak) dan petani. Yang menjadi kesatria/menak antara lain K.H.
Kimaslia yang kemudian menjadi ulama sekaligus menak yang memegang
kuasa atas daerah kabupaten Pandeglang dan bergelar R.T.A.A.
Natadiningrat, yang juga dikenal sebagai Dalem Tjekek, setelah wafat
dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Natadiningrat mempunyai 26
orang anak laki-laki dan perempuan (dari lain-lain istri), di antaranya
ada yang melanjutkan tradisi keratuan, yaitu:
1. Raden Murawan Sutadiningrat
2. Raden Bagus Djajadiningrat
Sutadiningrat
mempunyai anak antara lain (1) Raden Tjakra-diningrat, dan (2) Raden
Tanu Sura Adiningrat (melanjutkan memerintah Tjaringin (Menes) dan
Pandeglang, dan dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Sementara itu
Tjakradiningrat ditunjuk menjabat di daerah Peucang, kemudian menjadi
Wedana di Cilegon, sampai akhirnya tewas menjadi korban dalam
pemberontakan Cilegon pada tahun 1888. Tjakradiningrat kawin antara
lain dengan Nyi Raden Ajeng Encoh (Patih Bintang Rangkasbitung)
berputera antara lain Nyi Mas Siti Asyah Amiruddin, Nong Tris dan
lain-lainnya.
Perjalanan sejarah keturunan Pangeran
Astapati, ternyata memang membentuk benang lurus, melahirkan/menurunkan
atau pun menikah dengan para tokoh, pejabat dan cendikiawan.
Penafsiran ini, tentu saja dicoba untuk dihilangkan subyektivitas
kesejarahan, antara lain yang dapat dimunculkan akibat adanya aspek
nasionalisme/nasionalitas.
Penokohan di sini, tak lain
dikaitkan semata-mata terhadap prestasi puncak yang dapat dicapai oleh
anggota "pohon keturunan" ini, yang banyak di antaranya didukung oleh
dokumen-dokumen otentik-adminis-tratif.
Sementara itu, dari
autobiografi P.A.A. Djajadiningrat (1936), dapat diurutkan asal muasal
Pangeran Astapati beserta keturunannya, yang dikutip berikut ini.
"Batara
Toenggal ada berpoetera enam orang laki-laki. jang soeloeng Batara
Tjikal, wafat dengan tidak berpoetera. Sekarang ia memerintah doenia
bersama-sama ayahnja. Poeteranja jang kedoea Batara Pantandjala,
semata-mata memerintah bangsa Kanekes (Badoey) dan poeteranja yang
bertiga lagi berkoeasa di Salawe Nagara (doea poeloeh lima negeri).
Batara Patandjala berpoetera beberapa orang laki-laki, jang moeda sekali
bernama Batara Boengsoe. Dari Batara Boengsoe inilah asalnja
poe'oen-poe'oen Cibeo."
"Kira-kira pada waktoe Soeltan
Ageng Tirtajasa memerintah di Banten, maka salah seorang Poe'oen Tjibeo
itu ada beranak seorang laki-laki bernama Raden Wirasoeta. Ada poen
Raden Wirasoeta ini tidak senang diam dalam masjarakat bangsa Badoej
itoe, karena masjarakat itu terlaloe sempit terasa padanja. Oleh karena
itoe dimintanjalah dengan sangat kepada Bapaknja, soepaja ia diberi
idjin akan menghambakan diri kepada Soeltan Banten. Bapaknja tidak
berkeberatan dan Raden Wirasoeta diberinja nasihat akan menghiliri
Soengai djoeng: kelak akan sampai ke Keraton Bantam."
"Hanja
dengan sebilah keris bernama "Kebo Gandar" sadja (jaitoe jang masih
ada pada saja), toeroenlah Wirasoeta dari kampoengnja, berdjalan
menghiliri Soengai Tjioedjoeng. Achirnja sampailah ke Tirtajasa, tempat
Soeltan bersemajam pada waktoe itoe."
"Tidak lama
antaranja ia poen diterima menjadi hamba di Keraton, moela-moela
mendjadi hamba biasa (panakawan) tapi kemoedian mendjadi pradjoerit."
Dari
autobiografi Djajadiningrat tersebut di atas, juga disebutkan bahwa
Sultan Ageng Tirtayasa kerapkali berperang. Di dalam peperangan itu,
Wirasuta menampakkan kecakapannya, dan untuk itu kemudian ia diangkat
menjadi pangeran dan dinikahkan dengan salah seorang anak dari Sultan
Ageng Tirtayasa.
Djajadiningrat selanjutnya menulis bahwa
pada akhirnya Pangeran Wirasuta diangkat menjadi Patih (Perdana
Menteri). Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di
Lampung, ia terluka pada tangannya. Dikatakan bahwa luka yang
diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut. Karena itu setelah ia
meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati).
Hal penting dalam kajian dan rekonstruksi genealogi Pangeran Astapati ini, antara lain:
1.
tercampurnya trah Baduy dan Minangkabau pada ayah Ego dalam hal ini M.
Santosa, sebagai salah satu anak dari perkawinan M. Padmadiwiria/Patih
Bintang (keturunan Minangkabau) dan R.A. Fatmah yang memiliki
keturunan/darah Baduy.
2. semakin jelasnya pola-pola
perkawinan antar bangsawan atau antar pejabat di masa lalu, sehingga
pada setiap generasi senantiasa ada yang tampak memegang jabatan-jabatan
tinggi/prestisius di daerah.
3. baik dari keturunan pihak
ayah maupun ibu M. Santosa (ayah Ego), beberapa kali memunculkan anggota
generasi yang pernah menjadi pimpinan perang atau paling tidak
memperlihatkan kekokohannya dalam melawan kolonialisme.
Seperti
telah berulangkali disebutkan, penyusunan genealogi keluarga ini, sama
sekali tidak memiliki pretensi untuk melebihkan atau membesar-besarkan
peran dan ketokohan sejarah dari anggota-anggota generasi dalam pohon
genealogi tersebut. Namun berbagai bukti ternyata memang menunjukkan
bahwa dalam genealogi tersebut, terdapat dan tertanam benih-benih serta
semangat anti penjajah. Sampai saat terakhir penulisan, belum dapat
diamati korelasi antara sikap Banten dan Pagaruyung yang memang dikenal
sangat anti Belanda, terhadap sikap serta wawasan anggota-anggota
generasi dalam genealogi dimaksud.
Genealogi tersebut,
sekaligus sepertinya membenarkan adanya premis yang berlaku dalam baik
masyarakat Sunda maupun Jawa, yakni berlakunya bibit, bebet dan bobot dalam memelihara keturunan/keluarga.
Risalah
penelusuran genealogi ini, sama sekali bukan ditujukan untuk menulis
babakan/penggalan sejarah dalam sejarah Banten. Risalah ini hanyalah
memiliki lingkup documenta historica bagi Pangeran Astapati dan
keturunannya, baik ke atas maupun ke bawah.
Penelusuran
yang memperlihatkan kecenderungan konglomerasi anggota-anggota
genealogi yang mengarah pada kecenderungan mema-sukkan anggota
birokrasi ke dalam pohon keluarga. Baik pada masa pra kemerdekaan,
maupun pasca kemerdekaan.
Birokrasi kolonial maupun
birokrasi republik, pada dasarnya dibentuk dengan harapan memperlancar
kegiatan-kegiatan yang harus di-selenggarakan dan dikembangkan dalam
usaha mencapai tujuan "organisasi" se-rasional mungkin. Pengaturan
struktur birokrasi dan peranan-peranan para anggota birokrasi, yang
dengan sengaja diangkat untuk menangani ekses-ekses, mengelola dan
mengakomodasikan konflik dan partisipasi, serta mengelola administrasi
pada setiap kegiatan organisasi.
Risalah ini sejak semula
tidak diarahkan untuk "memberi warna hitam-putih" terhadap para tokoh
yang disebutkan dalam genealogi. Meski pun risalah ini bukan
dimaksudkan untuk penulisan sejarah, tetapi penulisannya itu sendiri
didasarkan pada bukti/dokumen/ sumber sejarah. Dan jika saja ada
percabangan ke samping dan kemudian ke atas atau ke bawah di luar garis
hubung pokok (main linkage) yang tidak dipaparkan dalam verbal, berdasarkan bukti yang ada, kekurangan tersebut terdapat dalam lampiran-lampiran.
Risalah
ini sungguh ditujukan bagi kepentingan paguyuban keluarga Pangeran
Astapati beserta keturunan-keturunannya, dan sungguh jauh dari pretensi
eksklusivisme, yang jelas-jelas bertentangan secara diametral terhadap
cita-cita dan semangat proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan UUD RI
Tahun 1945.
Risalah ini, penulisannya ditujukan untuk
merunut pohon keluarga sebagai dan dalam rangka menguatkan salah satu
sendi kesadaran jatidiri yang berawal dari masa lalu, eksis di masa
kini dan senantiasa memiliki perspektif masa depan. Seperti dipaparkan
semula, risalah ini juga menjauhi konglomerasi anggota keturunan ke
dalam kategorisasi sebagai pahlawan atau bukan pahlawan.
Apabila
dalam runutan tersebut memang terdapat suri keteladanan, kepahlawanan,
kecendiakawanan, maupun kepiawaian dalam ketata-prajaan, maka semoga
hal tersebut justru jadi pendorong, stimulasi dan motivasi untuk
senantiasa meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada generasi
penerus yang bertanggungjawab pada masa depan negara, bangsa, agama,
dan keluarga. Semoga.